REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, menilai pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang melarang para menterinya bicara soal penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden dinilai sudah tidak relevan. Sebab menurutnya wacana tersebut sudah terlanjur bergulir di publik.
"Wacana (penundaan pemilu) ini sebetulnya sudah mapan di kalangan publik, opini sudah terlanjur terbangun sehingga ketika Jokowi melakukan larangan di akhir mobilisasi seperti sekarang, selain ada keterlambatan saya kira ini adalah upaya untuk melepas diri dari tanggung jawab wacana itu sejak awal," kata Dedi kepada Republika, Kamis (7/4/2022).
Dedi menilai pernyataan Jokowi memunculkan kesan bahwa Jokowi berusaha untuk menghindar dari dampak polemik yang sudah terlanjur terbangun. Tidak hanya itu, Dedi juga menilai pernyataan tersebut dirasa perlu disampaikan mengingat PDIP sejak awal menolak wacana itu.
"Karena mau tidak mau PDIP sebagai partai politik presiden menolak sejak awal. Artinya bisa saja presiden mengalami tekanan dari partai PDIP meskipun presiden mulanya menikmati bahkan merestui wacana yang digelorakan oleh menko Luhut Panjaitan," ucapnya.
Maka itu, menurutnya kelompok sipil yang menolak keras wacana penundaan sipil tidak perlu terlena begitu saja dengan pernyataan Jokowi tersebut. Berkaca dari pengalaman, Dedi memandang beberapa kali pernyataan Jokowi justru tidak sinkron dengan situasinya.
"Misalnya terkait dengan kenaikan harga-harga kebutuhan publik, minyak goreng kemudian bahan bakar termasuk juga kenaikan tol pajak dan lain-lain itu kan mustahil kalau Jokowi tidak mengetahui. Tapi begitu berpolemik tiba-tiba Jokowi melakukan statement yang seolah-olah ia tidak tahu, ia melakukan kritik terhadap menterinya sendiri," terangnya.
"Jadi hal-hal semacam ini saya kira senada dengan apa yang disampaikan Jokowi terkait dengan wacana penundaan pemilihan umum ini," imbuhnya.