REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim menolak usulan Perdana Menteri Malaysia, Dato' Sri Ismail Sabri Yaakob, saat berkunjung ke Indonesia terkait memperkuat bahasa Melayu sebagai bahasa perantara antara kedua kepala negara, serta sebagai bahasa resmi ASEAN.
"Saya sebagai Mendikbudristek, tentu menolak usulan tersebut. Namun, karena ada keinginan negara sahabat kita mengajukan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi ASEAN, tentu keinginan tersebut perlu dikaji dan dibahas lebih lanjut di tataran regional," kata Nadiem lewat keterangannya, Selasa (5/4).
Karena itu, Nadiem mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk bahu membahu dengan pemerintah untuk terus berdayakan dan membela bahasa Indonesia. Posisi Nadiem itu bukan tanpa penjelasan menyeluruh. Nadiem menilai, bahasa Indonesia lebih layak untuk dikedepankan dengan mempertimbangkan keunggulan historis, hukum, dan linguistik.
"Di tingkat internasional, bahasa Indonesia telah menjadi bahasa terbesar di Asia Tenggara dan persebarannya telah mencakup 47 negara di seluruh dunia," kata dia.
Menurut dia, Pembelajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) juga telah diselenggarakan oleh 428 lembaga, baik yang difasilitasi oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek, maupun yang diselenggarakan secara mandiri oleh pegiat BIPA, pemerintah, dan lembaga di seluruh dunia.
"Selain itu, bahasa Indonesia juga diajarkan sebagai mata kuliah di sejumlah kampus kelas dunia di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia, serta di beberapa perguruan tinggi terkemuka di Asia," kata Nadiem.
Nadiem menyatakan, dengan semua keunggulan yang dimiliki bahasa Indonesia dari aspek historis, hukum, dan linguistik, serta bagaimana bahasa Indonesia telah menjadi bahasa yang diakui secara internasional, sudah selayaknya bahasa Indonesia duduk di posisi terdepan.
"Dan jika memungkinkan menjadi bahasa pengantar untuk pertemuan-pertemuan resmi ASEAN," kata Nadiem.
Dalam perjalanannya, peran bahasa Indonesia diperkuat dengan undang-undang (UU) dan peraturan-peraturan hukum. Pascakemerdekaan Indonesia, disebutkan dalam Pasal 36 UU Dasar Republik Indonesia bahwa Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.
Status dan fungsi bahasa Indonesia ditegaskan dalam UU Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, yang kemudian diperjelas dengan lebih terperinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia.
Itu juga diperkuat melalui Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia, serta Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 42 Tahun 2018 tentang Kebijakan Nasional Kebahasaan dan Kesastraan.