Kamis 31 Mar 2022 18:55 WIB

RUU TPKS Hadirkan Dana Bantuan Korban Kekerasan Seksual

Dana bantuan korban tidak meninggalkan kewajiban pelaku dari denda dan sita harta.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Ratna Puspita
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej (kiri).
Foto: Antara/Galih Pradipta
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy salah satu tujuan hadirnya rancangan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) adalah memberikan perlindungan untuk korban. Salah satunya lewat dana bantuan korban atau victim trust fund (VTF).

"Pemerintah akan mengakomodasi mengenai victim trust fund dan kita sudah merumuskan dua ayat nanti sebagai cantolan, tetapi kita tak menggunakan istilah victim trust fund, tapi dana bantuan korban," ujar Eddy dalam rapat kerja dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR, Kamis (31/3/2022).

Baca Juga

Dana bantuan korban akan diakomodasi lewat penambahan dua ayat dalam Pasal 23 RUU TPKS. Pertama, kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (16) dibayarkan melalui dana bantuan korban. 

Selanjutnya, ketentuan lebih lanjut mengenai sumber pendanaan dan tata cara pemberian dana bantuan korban sebagaimana dimaksud pada ayat (17) diatur dengan peraturan pemerintah. “Dana bantuan korban itu sudah. Itu nanti akan kami sisipkan dan sehingga itu bisa menjawab kekhawatiran," ujar Eddy.

Eddy menjelaskan, konsep dana bantuan korban atau victim trust fund tengah digagas oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Menurutnya, ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab negara terhadap korban kekerasan seksual.

"Saya kira mampu atau tidak mampu negara harus mampu sebagai bentuk tanggung jawab. Tujuan hukum pidana itu bagaimana memberikan perlindungan kepada masyarakat," ujar Eddy.

Eddy menjelaskan, dana bantuan korban tak hanya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), tetapi juga dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP), sanksi pidana finansial, dan program tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR). Kendati demikian, dana bantuan korban tidak meninggalkan kewajiban pelaku kekerasan seksual dari denda dan sita harta tetap berjalan sejak penyidikan. 

Jika pelaku tidak mampu, negara hadir lewat dana bantuan korban tersebut. Ia mencontohkan, jika pelaku kekerasan seksual dihukum satu tahun penjara dan restitusi sebesar Rp 100 juta. Namun, pelaku hanya memiliki harta sebesar Rp 50 juta, maka Rp 50 juta lainnya akan diganti lewat dana bantuan korban.

"Ketika pelaku tidak mampu membayar, maka dia tetap harus menerima hukuman pengganti supaya memberikan efek jera kepada yang lain. Tetapi korban tetap mendapatkan dana restitusi," ujar Eddy.

Adapun, penyitaan harta pelaku juga memperhatikan itikad baik pihak ketiga dalam hal memberikan restitusi bagi korban. "Bila perlu supaya tidak menimbulkan interpretasi kita jelaskan bahwa pihak ketiga ini harus memperhatikan hak anak, hak istri, atau hak suami," ujar Eddy.

Anggota Baleg Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luluk Nur Hamidah mengingatkan, restitusi adalah kewajiban pelaku. Menurutnya, harus ada banyak mekanisme bagi pelaku dalam memenuhi kewajibannya tersebut.

"Sehingga, tidak menghilangkan kewajiban pelaku untuk membayar restitusi, apapun caranya. Karena bisa juga membayar dengan mengeluarkan tenaganya dengan upah," ujar Luluk.

Anggota Baleg Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari tak setuju dengan konsep penambahan pidana penjara jika pelaku tak mampu membayar restitusi. Menurutnya, hal tersebut diselesaikan lewat dana bantuan korban.

"Bukan saya membela pelaku, tapi ini soal konsep pidana penjara pengganti didasarkan atas kondisi ekonomi pelaku. Seseorang mendapatkan pidana penjara pengganti karena tidak mampu, padahal ini sudah diselesaikan ketika VTF diberikan," ujar Taufik. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement