REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua MPR Bambang Soesatyo atau Bamsoet menanggapi adanya usulan amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Menurutnya, amendemen dapat terjadi jika memang itu merupakan kehendak rakyat.
"Mengenai Pokok-Pokok Haluan Negara, kalau ada tambahan lain itu harus ulang lagi dari awal. Nah, kalau tidak inkonstitusional," singkat Bamsoet di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (29/3/2022).
"Jadi sekali lagi saya menegaskan kecil kemungkinan ada penumpang gelap kalau kita memang ada kebutuhan amendemen sesuai keinginan rakyat yang mekanismenya sudah diatur di UUD," sambungnya.
Sebelumnya, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa menunda pemilihan umum (Pemilu) 2024 adalah melanggar konstitusi. Namun, ia mengungkapkan tiga cara jika wacana tersebut serius ingin dilakukan oleh pemerintah.
Pertama adalah lewat perubahan amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Menurutnya, hal yang perlu diubah sebenarnya bukanlah mengubah pasal-pasal dalam undang-undang yang ada sekarang secara harfiah, tetapi menambahkan pasal baru dalam UUD 45 yang terkait dengan pemilu.
"Pasal 22E UUD 45 dapat ditambahkan pasal baru, yakni Pasal 22 E ayat 7 yang berisi norma 'Dalam hal pelaksanaan pemilihan umum sekali dalam lima tahun sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, bencana alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang untuk menunda pelaksanaan Pemilu sampai batas waktu tertentu'," ujar Yusril lewat keterangan tertulisnya, Ahad (27/2/2022).
Selanjutnya, penambahan ayat 8 yang mengatur bahwa semua jabatan-jabatan kenegaraan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum sebagaimana diatur dalam UUD, ntuk sementara waktu tetap menduduki jabatannya sebagai pejabat sementara sampai dengan dilaksanakannya pemilihan umum.
Dengan penambahan dua ayat tersebut dalam Pasal 22E UUD 1945, tidak ada istilah perpanjangan masa jabatan Presiden, MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Para anggota dari lembaga negara tersebut berubah status menjadi anggota sementara, sebelum diganti dengan anggota-anggota hasil pemilu.
Status mereka sama dengan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada masa awal kemerdekaan, anggota DPRS di masa Demokrasi Liberal, dan anggota MPRS di masa Orde Lama dan awal Orde Baru. Kedudukan Presiden Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin juga menjadi pejabat Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana pejabat Presiden Soeharto di awal Orde Baru.