REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menekankan tingginya biaya politik sehingga mendorong kepala daerah untuk melakukan tindakan menyimpang. KPK mengatakan, membengkaknya biaya politik mendorong kandidat untuk mencari sumber pendanaan lain, termasuk dari hasil korupsi.
"Modal tersebut tidak cukup hanya diperoleh dari gaji resmi saja, sehingga ia melakukan penyalahgunaan kewenangan untuk menutup modalnya," kata Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron dalam keterangan, Rabu (23/3/2022).
Dia menjelaskan, bentuk penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat terpilih untuk mengembalikan modalnya. Seperti jual-beli perizinan, korupsi dalam pengadaan barang dan jasa, hingga jual-beli izin konsesi sumber daya alam.
Nurul mengatakan, penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat juga seringkali dilakukan demi merawat konstituen alias pemilih selain untuk mengembalikan modal. Dia melanjutkan, pejabat juga kerap menyiapkan modal untuk biaya pemilihan periode kedua masa jabatannya.
KPK telah menerima 99 laporan hasil analisis laporan keuangan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sepanjang 2020. Menurut Nurul, dari 99 laporan itu ada 34 informasi transaksi keuangan mencurigakan. Namun, dia tidak merinci transaksi mencurigakan dimaksud.
KPK mengapresiasi PPATK karena terus mendukung upaya pemberantasan korupsi, termasuk yang dilakukan oleh kepala daerah. “Uang yang diperoleh pemimpin daerah, harus dibersihkan dari unsur-unsur korupsi. Karena apabila dibiarkan akan menghasilkan korupsi yang terus berlanjut," katanya.
KPK mengaku terus berupaya mencegah penyalahgunaan kewenangan dalam kontestasi Pilkada. Salah satunya dengan menyusun pedoman Sistem Integritas Partai Politik (SIPP). Dia mengatakan, parpol dapat mengimplementasikan langkah dan strategi antikorupsi pada kadernya yang akan menjabat sebagai kepala daerah.
KPK juga berupaya menanamkan nilai integritas dalam pelaksanaan pemilu kepada penyelenggara dan pemilih melalui program integritas pemimpin dan integritas pemilih. "Sehingga untuk mencegah praktik money politics, kita minta komitmen semua pihak," katanya.
Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana menyatakan dalam penyelenggaraan pemilu rentan terjadi money politics, termasuk dari hasil korupsi. Dia mengungkapkan, banyak ditemukan kasus ijon untuk calon kepala daerah, seperti di Jombang, Cimahi, Bandung Barat dan lainnya.
"Di mana sebelum terpilih, memperoleh dana untuk pemilu dari berbagai pihak dan setelah terpilih kepala daerah memberikan balas-budi kepada pihak yang memberi dana," katanya.
Ivan menegaskan kontestasi pemilu seharusnya bukan untuk mengadu banyaknya uang agar memenangkan pemilu, melainkan visi dan misi dari para kandidat. Namun dalam praktiknya kekuatan politik uang menjadi penentu penting seseorang kandidat terpilih atau tidak dalam Pemilu.
Menurutnya, hal ini dikarenakan sikap permisif praktik korupsi di masyarakat ditambah kurangnya kedekatan calon kepala daerah dengan konstituen. Sehingga, kampanye menjadi cara yang gencar dilakukan calon kepala daerah untuk memenangkan pemilu dan berbiaya mahal.