REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh menyayangkan Mahkamah Agung (MA) yang menyunat hukuman Edhy Prabowo dari sembilan tahun menjadi lima tahun. Menurutnya, hal ini menjadi preseden buruk bagi MA dalam pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Pangeran sulit menerima alasan MA bahwa faktor jasa dari Edhy selaku eks Menteri KKP terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan begitu besar. Ia mempertanyakan MA masih bisa menilai secara judex facti, padahal selama ini level MA adalah menilai secara judex juris.
"Artinya menjadi aneh secara hukum hal ini menjadi pertimbangan, padahal secara tugas dan fungsi siapapun jadi pejabat tentu amanah yang diemban harus menyejahterayakan rakyat," kata Pangeran dalam keterangan pers yang dikutip Senin, (14/3/2022).
Selanjutnya, Pangeran menyoroti tindak pidana korupsi dilakukan Edhy dalam kondisi pandemi. Sehingga Edhy sebenarnya pantas mendapat hukuman lebih berat karena Negara tengah mengalami kesulitan.
"Kita semua sempat heboh bagaimana hukum mengatur apabila korupsi dilakukan saat negara dalam keadaan darurat tentu hukumannya semakin berat. Apakah ini menjadi pertimbangan? tentu sekali lagi ini tidak logic dengan hasil di MA," ujar politikus dari PAN itu.
Oleh karena itu, Pangeran menilai keputusan MA ini malah menjadi bumerang bagi semangat pemberantasan korupsi. Apalagi produk hukum MA bisa menjadi yurisprudensi atau serangkaian putusan hukum yang dikeluarkan oleh pengadilan yang kemudian memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Akhirnya kita ambil konklusi ini menjadi preseden yang buruk apalagi ini di level MA yang produknya dianggap sebagai Yurisprudensi," ucap Pangeran.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) KPK menuntut Edhy Prabowo divonis lima tahun penjara ditambah denda Rp 400 juta subsider enam bulan kurungan, kewajiban untuk membayar uang pengganti sejumlah 9.687.457.219 dan 77 ribu dolar AS serta pencabutan untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun sejak selesai menjalani hukuman.
Kemudian majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 15 Juli 2021 menjatuhkan vonis yang sama dengan tuntutan yaitu lima tahun penjara ditambah denda Rp 400 juta subisider enam bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti dan pencabutan hak dipilih selama dua tahun.
Namun pada 21 Oktober 2021, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonis Edhy menjadi sembilan tahun penjara ditambah denda sebesar Rp 400 juta subsider enam bulan kurungan, membayar uang pengganti sejumlah Rp 9.687.457.219 dan 77 ribu dolar AS serta pencabutan untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun.
Atas putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut maka Edhy Prabowo mengajukan kasasi pada 18 Januari 2022. Dalam perkara ini Edhy terbukti menerima suap senilai 77 ribu dolar AS dan Rp 24.625.587.250 dari pengusaha terkait ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur.