Senin 28 Feb 2022 07:56 WIB

Indonesia Jangan Salah Kalkulasi di Konflik Rusia-Ukraina

Indonesia harus mengantisipasi perluasan konflik Rusia-Ukraina.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Indira Rezkisari
Pengungsi yang melarikan diri dari konflik dari negara tetangga Ukraina tiba di Zahony, Hongaria, Ahad, 27 Februari 2022. Pertempuran jalanan pecah di kota terbesar kedua Ukraina pada Ahad dan pasukan Rusia meningkatkan tekanan pada pelabuhan-pelabuhan strategis di selatan negara itu menyusul gelombang serangan terhadap lapangan terbang dan fasilitas bahan bakar di tempat lain yang tampaknya menandai fase baru invasi Rusia.
Foto: AP/Anna Szilagyi
Pengungsi yang melarikan diri dari konflik dari negara tetangga Ukraina tiba di Zahony, Hongaria, Ahad, 27 Februari 2022. Pertempuran jalanan pecah di kota terbesar kedua Ukraina pada Ahad dan pasukan Rusia meningkatkan tekanan pada pelabuhan-pelabuhan strategis di selatan negara itu menyusul gelombang serangan terhadap lapangan terbang dan fasilitas bahan bakar di tempat lain yang tampaknya menandai fase baru invasi Rusia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia perlu mengantisipasi dampak konflik Rusia-Ukraina. Kesalahan kalkulasi politik, membuat Indonesia terjebak dalam posisi tidak menguntungkan di bidang ekonomi dan politik internasional.

Dosen Paramadina Graduate School of diplomacy, Khoirul Umam mengatakan dari segi anatomi konflik, terdapat tiga faktor utama yang patut diantisipasi bersama. Pertama, pentingnya mengelola fungsi diplomasi dan komunikasi politik, dalam konteks bilateral maupun multilateral antar-negara, utamanya dalam konteks relasi yang telah memiliki akar sejarah konflik masa lalu yang panjang.

Baca Juga

"Kedua, Indonesia harus lebih berhati-hati agar tidak terjebak dalam bias kalkulasi kepentingan strategis,strategic miscalculation. Dalam konteks ini, kejernihan menimbang dan mengkalkulasikan strategi pencapaian kepentingan nasional sangat ditentukan oleh kompleksitas aktor yang terlibat," papar Khoirul Umam dalam diskusi Indef, "Dampak Ekonomi Perang Rusia-Ukraina", Sabtu (26/2/2022).

Artinya, menurut dia, tingginya kepercayaan diri Ukraina dalam menghadapi Rusia tentu tidak lepas dari ekosistem kekuatan yang mengelilinginya. Khususnya keterlibatan NATO dan juga Amerika Serikat sendiri yang menjanjikan aliansi dukungan pertahanan yang kuat sebagai back up kekuatan.

Ketiga, pentingnya mengelola “ego kekuasaan” yang dimainkan oleh elit politik, pemerintahan, atau negara. Dalam konteks ini, konflik yang selanjutnya tersulut menjadi perang terbuka seringkali tidak lepas dari hadirnya sosok karakter pemimpinnya.

"Seperti yang karakter meledak-ledak, tidak mudah diterka, erratic leader, memiliki ego yang tinggi, serta kadang menikmati hadirnya atmosfer ketegangan hingga perang, warlike leader," terangnya.

Karena itu, ia menekankan Indonesia harus mengantisipasi perluasan konflik agar ancaman instabilitas ini tidak berpindah ke kawasan Asia Tenggara. Ada sejumlah kekuatan besar yang sedang berusaha mengonsolidasikan kekuatan mereka di kawasan Indo-Pasifik.

Upaya konsolidasi kekuatan itu salah satunya ditandai oleh hadirnya deklarasi pakta pertahanan Australia, United Kingdom dan United States of America (AUKUS) pada September 2021 lalu. Telah menjadi rahasia umum, pakta pertahanan AUKUS ini dihadirkan sebagai upaya perimbangan kekuatan (balance of power) terhadap Tiongkok

AUKUS berupaya membendung Tiongkok yang semakin mengokohkan pengaruh dan kekuatan ekonomi-politik serta pertahanannya di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik secara general. Karena itu, Umam mengatakan perang Rusia dan Ukraina kali ini harus menjadi wake-up call bagi Indonesia.

"Peringatan bagi kita semua, untuk benar-benar mampu menjalankan kerja diplomasi dan komunikasi politik publik di kawasan secara optimal. Jangan sampai Asia Tenggara, khususnya Indonesia, menjadi ajang medan pertempuran dan adu pelanduk di antara dua kekuatan besar di kawasan," tegasnya.

Untuk itu, diperlukan komitmen semua negara di kawasan harus terus ditegakkan, untuk menghadirkan kerja-kerja diplomasi dan komunikasi politik yang jujur, transparan, dan akuntabel. Begitupun proses diplomasi dan komunikasi politik publik harus benar-benar diletakkan dalam koritor relasi bilateral maupun multilateral yang kontruktif dan tidak bias kepentingan.

Untuk itu, Umam menekankan upaya penguatan terhadap sistem demokrasi yang menghadirkan model checking and balancing benar-benar harus terus dijalankan secara simultan. Agar output kepemimpinan politik tidak dibelokkan oleh “ego kekuasaan”.

Di sinilah, teori perdamaian demokrasi berlaku. Teori yang meyakini perdamaian kawasan akan lebih mudah dicapai ketika masing-masing negara menjalankan sistem demokrasi yang sehat dan transparan. "Teori ini akan kembali menemukan justifikasi dan relevansinya dalam konteks teori maupun praktik hubungan internasional," imbuhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement