Ahad 20 Feb 2022 16:05 WIB

Ini Sikap Masyarakat Betawi Soal Jakarta yang tak akan Berstatus Ibu Kota Lagi

Ada sembilan rekomendasi yang mereka sampaikan.

Pengendara melintasi genangan air yang menutupi ruas jalan di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta beberapa waktu lalu. Persoalan banjir diharapkan tak akan lagi muncul di Ibu Kota Negara yang baru.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pengendara melintasi genangan air yang menutupi ruas jalan di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta beberapa waktu lalu. Persoalan banjir diharapkan tak akan lagi muncul di Ibu Kota Negara yang baru.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah tokoh Betawi merekomendasikan agar masyarakat Betawi sebagai penduduk asli Jakarta diikutkan dalam penyusunan revisi Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Rekomendasi tersebut dirumuskan dalam diskusi kelompok terarah atau "focus group discussion" (FGD) bertema "Pasca-Jakarta tanpa ibu kota" yang diprakarsai oleh Anggota DPD RI asal Jakarta, Dailami Firdaus.

"Kami menyepakati ada sembilan rekomendasi untuk Pemerintah dan DPR dalam menyusun revisi UU Nomor 29 Tahun 2007," kata Dailami Firdaus, dilansir dari kantor berita Antara, Ahad (20/2/2022).

Baca Juga

Pada rekomendasi pertama, UU Nomor 29 Tahun 2007 direvisi menyusul diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN). Karena itu, revisi harus dilakukan secara runut dan rigid dengan memperhatikan sistem, bentuk, dan nilai masyarakat Betawi setelah Jakarta tidak lagi berstatus sebagai IKN.

Kedua, dalam merevisi UU 29/2007, naskah akademik memuat nilai historis, psikologis, sosiologis, sosial dan budaya, tata pemerintahan, hukum, ekonomi, serta usul perubahan pasal per pasal.

Ketiga, masyarakat Betawi sebagai penduduk asli Jakarta harus dilibatkan dalam seluruh proses dan tahapan revisi UU 29/2007, dari penyusunan, pengusulan, pembahasan hingga pengesahan. "Hal itu karena masyarakat Betawi lebih mengetahui kebutuhan, keinginan, dan perkembangan Jakarta ke depan" kata Bang Dai.

Keempat, Jakarta tetap mendapatkan sifat kekhususan sebagaimana yang diterima Provinsi Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Papua.

Kelima, isi atau substansi UU 29/2007 hasil revisi mengusung semangat desentralisasi asimetris guna memaksimalkan potensi politik, sosial, budaya, dan ekonomi, sekaligus dalam menghadapi berbagai masalah Jakarta ke depan.

Keenam, atas adanya kekhususan Jakarta tersebut, revisi UU 29/2007 harus memuat kelembagaan masyarakat adat Betawi, seperti yang ada di Aceh (Majelis Adat Aceh) dan di Papua (Majelis Rakyat Papua), agar pembangunan daerah terintegrasi dengan nilai-nilai Betawi.

Ketujuh, UU 29/2007 hasil revisi harus menempatkan hak-hak sosial dan politik masyarakat Betawi dalam setiap sistem pemerintahan dan setiap tingkatan di DKI Jakarta.

Kedelapan, revisi UU 29/2007 memuat sistem pendidikan dengan memperhatikan muatan lokal kebetawian dalam kurikulum pendidikan di setiap tingkatan. Kesembilan, revisi UU 29/2007 harus memuat penyesuaian dan pengembangan wilayah khusus budaya dan ekonomi di setiap pemerintahan tingkat kecamatan. 

Forum diskusi tersebut diikuti oleh antara lain, Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi Beky Mardani, Pendiri Ormas FORKABI dan anggota Majelis Pertimbangan Tinggi Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Anak Betawi Herman Sani, Budayawan Bang Yoyo, serta mantan Anggota DPD RI DKI Jakarta Azis Kafia dan Biem Benjamin.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement