REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyampaikan sejumlah permasalahan multidimensi yang ditemukan dalam kasus kerangkeng manusia milik mantan Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin. Pertama adalah adanya praktik kekerasan, penyiksaan, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
"Itu dibuktikan dari banyak sekali tanda-tanda jejak dari pelanggaran HAM yang dilakukan pada saat praktik kerangkeng manusia ini," peneliti HAM KontraS, Rozy Brilian dalam diskusi daring, Sabtu (19/2/2022).
Kedua, adalah praktik perbudakan modern atau modern slavery. Ia tak habis pikir, masih adanya perbudakan oleh seorang yang notabenenya memiliki kuasa untuk mengeruk keuntungan tanpa memberikan hak yang pantas bagi para pekerjanya.
"Praktik serupa banyak terjadi di kebun sawit, menandakan minimnya pengawasan serta perlindungan terhadap pekerja atau buruh sawit," ujar Rozy.
Permasalahan selanjutnya adalah dari aspek sosiologis atau dukungan masyarakat. Ia melihat ada kepercayaan masyarakat terhadap praktik kerangkeng manusia untuk merehabilitasi pecandu narkoba, ketimbang lembaga formil.
"Ini juga menjadi problematis ketika masyarakat hari ini tidak mempercayai lembaga formil yang ada, dan cenderung mempercayakan satu lembaga ilegal bersifat tidak manusiawi dalam bentuk kerangkeng," ujar Rozy.
Terakhir adalah tata kelola dan kebijakan terhadap pengguna narkoba. Menurutnya, hal tersebut masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah dalam kebijakannya terhadap pengguna narkoba.
"Hari ini kita masih cenderung mengedepankan paradigma dalam menghukum satu pengguna narkotika. Pada akhirnya itu berimplikasi pada tatanan masyarakat yang tidak mempercayai lembaga formil," ujar Rozy.