REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) terus menjadi pembahasan. Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ghufron Mukti menyebut terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam rencana pemberlakuan KRIS JKN.
“Dalam kondisi saat ini di mana aset netto BPJS Kesehatan sudah positif, fokus kami adalah bagaimana meningkatkan mutu layanan. Ini sejalan dengan harapan peserta yg menginginkan adanya standar mutu layanan agar prinsip ekuitas bisa dipenuhi. Jangan sampai penerapan KRIS ini jika tidak disiapkan dengan baik akan mengurangi mutu layanan,” kata Ghufron dalam sesi webinar Rapat Kerja Nasional Persi Tahun 2022 dengan tema Tarif Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Kelas Standar dan Mutu, Jumat (11/02).
Dalam penerapan KRIS, Ghufron mengatakan kesiapan fasilitas kesehatan khususnya rumah sakit juga harus terus diupayakan. Menurutnya, ada beberapa indikator yang harus didorong bagi rumah sakit, khususnya dalam pemenuhan ketersediaan tempat tidur, pemenuhan dokter spesialis atau subspesialis, hak atas obat hingga visitasi dokter harus berjalan dengan baik.
"Kami melihat bahwa tren kerja sama dengan rumah sakit terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Begitu juga diimbangi dengan rasio kecukupan tempat tidur perawatan secara nasional relatif cukup. Untuk itu, diharapkan dukungan kepada seluruh pihak dalam pemenuhan infrastruktur, SDM dan alat kesehatan di fasilitas kesehatan sehingga mutu layanan tetap terjaga," tambah Ghufron.
Sementara itu, Anggota DJSN, Muttaqien menyebut ada perubahan tentang kelas standar PBI dan non-PBI. Dirinya juga mengatakan rencana implementasi KRIS akan dilakukan secara bertahap. Dirinya menyebut, ada 12 kriteria yang akan menjadi indikator dalam penerapan KRIS tersebut. Dari kriteria tersebut, pihaknya terlebih dahulu akan melakukan ujicoba ke rumah sakit vertikal, rumah sakit daerah dan rumah sakit swasta.
“Di tahun 2022 ini, DJSN bersama Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan akan melakukan ujicoba penerapan KRIS. Harapannya asosiasi rumah sakit, khususnya PERSI dapat mendukung upaya tersebut untuk melihat bagaimana penerapannya sehingga ditemukan apa yang harus dilakukan dan diperbaiki dalam penerapan KRIS JKN ini,” jelas Muttaqien.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Prof. dr. Abdul Kadir, Ph.D. Sp.THT-KL(K) M.A.R.S mendukung pernyataan Direktur Utama BPJS Kesehatan bahwa mutu dan kualitas pelayanan merupakan hal yang sangat penting apabila akan mulai diterapkan KRIS JKN. Menurutnya, untuk meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan, seluruh pihak harus melakukan transformasi terhadap infrastuktur dan suprastruktur.
“Sebagus apapun infrastruktur rumah sakit tanpa didukung adanya suprastruktur, dari sistem hingga sumber daya manusia yang baik pula maka tidak akan bisa meningkatkan mutu. Saat ini untuk tenaga kesehatan, khususnya bagi dokter spesialis sangat kekurangan. Oleh karena itu, kami meminta kepada lembaga pendidikan untuk menambah kuota dalam memproduksi lulusan terbaik kedokteran sehingga penyebaran tenaga kesehatan ke daerah semakin baik,” kata Kadir.
Rencana implementasi KRIS masih perlu dimatangkan. Hal ini sesuai dengan kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IX DPR RI yang mendesak DJSN untuk bersama-sama dengan Kementerian Kesehatan RI, BPJS Kesehatan, dan asosiasi rumah sakit secara kontinu untuk memperjelas kesepakatan definisi dan kriteria KRIS dengan mempertimbangkan infrastruktur, Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDMK), dan alat kesehatan yang dimiliki oleh fasilitas kesehatan serta menyusun pentahapan implementasi KRIS dan mitigasi risikonya melalui peta jalan secara rinci.