Jumat 11 Feb 2022 03:46 WIB

Ini Alasan Perkara di Mahkamah Konstitusi Butuh Waktu 2,97 Bulan

Pada Januari hingga April 2021, MK fokus melaksanakan penyelesaian perkara pilkada.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi Sekjen MK M Guntur Hamzah (kiri) dan Panitera MK Muhidin (kanan) saat konferensi pers Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (8/2/2022). Konferensi pers tersebut membahas tentang persiapan Sidang Pleno Khusus Laporan Tahunan MK tahun 2021, sekaligus membahas rencana kegiatan Kongres Ke-5 The World Conference on Constitutional Justice (WCCJ) dengan tuan rumah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang akan berlangsung pada 4 hingga 8 Oktober 2022 mendatang. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi Sekjen MK M Guntur Hamzah (kiri) dan Panitera MK Muhidin (kanan) saat konferensi pers Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (8/2/2022). Konferensi pers tersebut membahas tentang persiapan Sidang Pleno Khusus Laporan Tahunan MK tahun 2021, sekaligus membahas rencana kegiatan Kongres Ke-5 The World Conference on Constitutional Justice (WCCJ) dengan tuan rumah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang akan berlangsung pada 4 hingga 8 Oktober 2022 mendatang. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menjelaskan alasan penyelesaian perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) dan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) pada 2021 rata-rata memakan waktu hingga 2,97 bulan. Alasannya, pada Januari hingga April 2021 MK fokus melaksanakan penyelesaian perkara pilkada.

Sebab, menurut ketentuan penyelesaian perkara pilkada dibatasi waktu yaitu 45 hari kerja sejak permohonan diregistrasi ke lembaga tersebut. "Hal itu sejalan dengan ketentuan Pasal 82 Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara PUU," kata Ketua MK Anwar Usman pada Sidang Pleno Khusus Laporan Tahunan yang disiarkan MK secara virtual di Jakarta, Kamis (10/2/2022).

Pada intinya, ketentuan itu menyebutkan mahkamah melaksanakan kewenangan lainnya yang bersamaan dengan tahapan persidangan perkara PUU maka tahapan persidangan perkara PUU disesuaikan dengan pelaksanaan kewenangan lain dimaksud. Atas dasar itu, MK memeriksa, mengadili, dan memutus perkara PUU setelah selesai memutus perselisihan hasil pilkada serentak yaitu pada Mei hingga Desember 2021, atau dalam kurun waktu delapan bulan.

Meskipun dilakukan dalam kurun waktu delapan bulan, dan sempat menunda persidangan, MK tetap mampu menyelesaikan perkara dengan rata-rata waktu yang relatif cepat. "Penting untuk diketahui, meskipun perkara PUU dan perkara SKLN tidak diatur secara limitasi jangka waktu penyelesaiannya, MK, telah mengupayakan dengan sungguh-sungguh agar semua perkara segera diselesaikan," ujarnya.

Namun, perlu diingat, jangka waktu penyelesaian sebuah perkara tidak hanya bergantung pada MK semata melainkan juga pada para pihak yang berperkara.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement