REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menerbitkan aturan mengenai remisi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan Ham (Permenkumham) Nomor 7 Tahun 2022. Aturan baru tersebut muncul karena Mahkamah Agung (MA) membatalkan dan mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan yang mengatur pengetatan pemberian remisi bagi terpidana tindak pidana khusus yaitu korupsi, terorisme dan narkoba.
"Diharapkan Permenkumham yang diterbitkan ini dapat dijadikan sebagai regulasi yang mengatur pemenuhan hak warga binaan pasca dikabulkannya sebagian gugatan atas beberapa pasal yang termuat dalam PP 99 tahun 2012 melalui keputusan Mahkamah Agung no 28 P/HUM/2021," kata Koordinator Humas dan Protokol Ditjepas Rika Aprianti dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (1/2).
Rika menjelaskan Kementerian/Lembaga terkait sudah menyetujui rancangan perubahan permenkumham ini. Namun dengan beberapa pengetatan untuk tindak pidana tertentu yang merupakan jenis tindak pidana luar biasa dan tetap memperhatikan bahwa pengetatan tersebut tidak boleh membatasi hak-hak narapidana.
"Dalam Permenkumham ini tidak menghilangkan syarat-syarat khusus dalam pemberian hak narapidana sesuai dengan PP 99 tahun 2012. Misalnya pemberian hak bagi narapidana terorisme tetap mempersyaratkan bahwa harus telah menyatakan ikrar kesetiaan kepada Republik Indonesia serta telah mengikuti dengan baik program deradikalisasi," ujar Rika.
Rika juga menyampaikan dalam Permenkumham ini mempersyaratkan untuk membayar lunas denda dan uang pengganti bagi narapidana kasus korupsi untuk mendapatkan hak remisi maupun integrasi (pembebasan bersyarat, cuti bersyarat dan cuti menjelang bebas). "Lalu penghilangan syarat justice collabolator dalam putusan MA menjadikan hal tersebut sebagai syarat pemberian hak, namun sebagai reward sesuai dengan UU nomor 31 Tahun 2014," lanjut Rika.
Adapun mengenai reformulasi remisi alasan kemanusiaan, Rika mengatakan, tetap diberikan berdasarkan atas satu kategori dan pengaturan kembali tentang remisi tambahan. Sehingga dilakukan reformulasi terhadap usulan remisi yang terlambat karena syarat dan dokumen belum terpenuhi pada periode penyerahan remisi baik umum ataupun khusus keagamaan dengan menyisipkan pasal 27A dengan besaran Remisi pertama sejak diusulkan sesuai dengan pasal 4 Kepres 174 tahun 1999.
"Remisi sebesar satu bulan bagi narapidana yang menjalani pidananya enam sampai dengan 12 bulan dan remisi sebesar dua bulan bagi narapidana yang menjalani pidananya 12 bulan atau lebih," ucap Rika.