Selasa 01 Feb 2022 13:58 WIB

Saat Gus Dur Ditasbihkan Sebagai Bapak Tionghoa

Saat Gus Dur menjadi presiden, Hari Raya Imlek akhirnya bisa diperingati.

Rep: Muhyiddin/ Red: Indira Rezkisari
Warga keturunan Tionghoa melaksanakan sembahyang di Vihara Dhanagun, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (1/2/2022). Kegiatan sembahyang tahun baru Imlek 2573 itu sebagai ungkapan rasa syukur atas segala rejeki dan keselamatan dari Tuhan serta untuk pengharapan kehidupan lebih baik di tahun macan air. Perayaan Imlek di Indonesia menjadi hari raya nasional di bawah kepemimpinan Gus Dur. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Warga keturunan Tionghoa melaksanakan sembahyang di Vihara Dhanagun, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (1/2/2022). Kegiatan sembahyang tahun baru Imlek 2573 itu sebagai ungkapan rasa syukur atas segala rejeki dan keselamatan dari Tuhan serta untuk pengharapan kehidupan lebih baik di tahun macan air. Perayaan Imlek di Indonesia menjadi hari raya nasional di bawah kepemimpinan Gus Dur. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – KH Abdurrahman Wahid atau yang biasa dipanggil Gus Dur merupakan sosok ulama yang tidak hanya dihormati oleh kalangan umat Islam, tapi juga oleh para tokoh agama Tionghoa. Karena itu, Gus Dur pun ditasbihkan sebagai Bapak Tionghoa.

Gus Dur tidak hanya banyak melahirkan pemikiran dan kebijakan yang menghormati masyarakat Tionghoa, tapi mantan Presiden RI ini juga mensejajarkan mereka dengan semua kelompok yang ada di bumi Nusantara dari berbagai agama, suku, dan adat istiadat yang berbeda. Dalam buku berjudul “41 Warisan Kebesaran Gus Dur”, M Hanif Dhakiri menjelaskan, Gus Dur adalah tokoh agama yang selalu pasang badan atas tindakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa dan kelompok non-muslim lainnya, baik yang dilakukan oleh kelompok Islam sendiri maupun rezim Orde Baru.

Baca Juga

Gus Dur adalah pembela bagi berbagai kelompok yang dipinggirkan. Pada level praktis dan kebijakan, menurut dia, pembelaan Gus dur terhadap kelompok kelompok dan etnis Tionghoa telah dibuktikan secara nyata.

Saat Gus Dur menjadi presiden, Hari Raya Imlek akhirnya bisa diperingati dan dirayakan dengan bebas. Warga Tionghoa tidak perlu lagi harus sembunyi-sembunyi jika merayakannya. Kebebasan ini tidak lepas dari keputusan politik Gus Dur yang pada 17 Januari 2000, mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2000, yang isinya mencabut Inpres No 14/1967 yang dibuat Soeharto tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat China.

Menurut Hanif, perhatian dan pembelaan Gus Dur terhadap kelompok Tionghoa sangat besar. Karena itu, beberapa tokoh agama Tionghoa Semarang kemudian mentasbihkan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa pada 10 Maret 2004 silam di Kelenteng Tay Kak Sie.

Tidak hanya itu, menurut Hanif, penghargaan dan penghormatan masyarakat Tionghoa kepada Gus Dur juga selalu diitunjukkan dalam berbagai kesempatan. Ada timbal-balik, saling menghargai, dan saling menghormati antara Gus Dur dan masyarakat Tionghoa. Bukan karena motif kekuasaan atau keduniaan, tapi karena keduanya sama-sama mencintai Indonesia dan kemanusiaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement