REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) Sultan Bachtiar Najamudin merespons pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah, yang mempertanyakan eksistensi lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) lantaran tidak menjalankan peran dan fungsinya dengan baik. Sultan mengatakan, MPR merupakan wujud sesungguhnya lembaga legislatif yang sesuai dengan definisi demokrasi Pancasila.
"Karena membubarkan MPR RI sama dengan mengoreksi atau bahkan tidak mengakui keberadaan sila ke-4 Pancasila. MPR hanya perlu dikembalikan ke posisinya yang semula, bukan justru dibubarkan," kata Sultan dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (22/1).
Senator asal Bengkulu itu menilai apa yang disampaikan oleh Fahri Hamzah merupakan sebuah kritik konstitusional yang sangat fundamental terhadap suasana ketatanegaraan Indonesia yang serba ambigu saat ini. Menurutnya, hal itu sangat penting untuk diperhatikan dan dimaknai sebagai argumentasi politik negara yang konstruktif dan benar adanya.
"Sebagai tokoh nasional dan mantan Wakil Ketua DPR RI, saudara Fahri tentu memahami betul bahwa struktur ketatanegaraan kita yang sudah saatnya diperbaharui. Bukan tentang eksistensinya tapi lebih pada esensi kewenangan masing-masing lembaga legislatif yang ada,” kata dia.
Ia mendorong agar pemerintah dan lembaga legislatif khususnya MPR/DPR RI untuk mengkaji kritikan tersebut dan membuka ruang dan peluang untuk dilaksanakannya amandemen konstitusi. "Saya selalu mengatakan bahwa, semua persoalan bangsa saat ini hanya akan efektif diselesaikan jika konstitusi UUD NRI 1945 dievaluasi secara menyeluruh. Khususnya pada pasal atau ketentuan yang mengatur tentang lembaga politik dan sistem ketatanegaraan Indonesia," tuturnya.
Akibat kewenangannya yang berbeda-beda, kata Sultan, lembaga legislatif kita terkesan dipetakan menjadi tiga lembaga berbeda, MPR, DPR dan DPD RI sehingga sistem presidensial menjadi terlalu kuat dan mengganggu kualitas demokrasi. "Keberadaan tiga lembaga legislatif yang menginduk dalam rumah besar bernama MPR RI sejati memberikan ruang politik dan kewenangan yang berfungsi sebagai penyeimbang satu dengan yang lainnya dalam meningkatkan kualitas dan kinerja legislasi serta memperkuat sistem kontrol bagi jalannya pemerintahan," kata dia.
Sultan berpandangan MPR seharusnya berperan sebagai induk bagi DPR dan DPD RI yang diberikan kewenangan sebagai pengatur dan pengawas atas segala hal yang terkait dengan lembaga legislatif. Baik itu dalam proses penyusunan hingga pengesahan UU, hingga pada kode etik anggota DPR dan DPD RI.
"Jika demikian, idealnya MPR RI menjadi lembaga legislatif tertinggi yang dipimpin oleh para negarawan khususnya para ketua umum partai. Oleh karenanya, Ketum partai sejatinya harus dilarang untuk ditempatkan di kabinet pemerintah. Haram hukum bagi ketum partai menjadi pembantu presiden, karena para ketum parpol lah yang mengusung presiden di pemilu,” kata dia.
Sultan berharap agar MPR RI menjadi solusi ketika terjadi perbedaan pendapat atau deadlock atas sebuah keputusan di sidang paripurna DPR dan DPD RI dengan pendekatan musyawarah untuk mufakat, sehingga tidak lagi terjadi ada satu atau dua partai yang menolak keputusan atau produk UU di sidang Paripurna DPR.
"Dengan struktur yang demikian, argumentasi penghapusan fraksi di DPR yang diusulkan Saudara Fahri menjadi rasional dan bisa diterima,” kata dia.