REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak pengesahan rancangan undang-undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) menjadi undang-undang. Salah satu alasannya, pemindahan ibu kota negara diyakini akan membebani keuangan negara.
"Kondisi ekonomi negeri kita masih dalam keadaan sulit dan belum pulih, masyarakat dan bangsa kita masih berjuang melawan Covid," ujar anggota Pansus RUU IKN Fraksi PKS Hamid Noor Yasin saat dihubungi, Rabu (19/1).
Ia juga menilai, utang negara tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan pemindahan ibu kota negara ke Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Jika pemerintah berutang kembali, tentu akan membebani keuangan negara ke depannya.
"Utang pemerintah sebesar Rp 6.687,28 triliun, setara dengan 39,69 persen produk domestik bruto. Sedangkan kebutuhan anggaran untuk IKN, diperkirakan kurang lebih Rp 406 triliun," ujar Hamid.
Di samping itu, pemindahan ibu kota negara tentu akan mengganggu proses pemulihan ekonomi nasional. Apalagi, jika anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) juga digunakan untuk proses pemindahan dan pembangunannya. "Fraksi PKS melihat bahwa pemindahan ibu kota negara sangat membebani keuangan negara, dan membuat negara tidak fokus dalam penanganan pemulihan ekonomi," ujar Hamid.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan, pemerintah akan beradaptasi dengan model bisnis dan pembiayaan dalam pembangunan ibu kota negara di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Tujuannya, agar prosesnya tak memberatkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
"Kita akan beradaptasi mengadaptasi business model dan financial model sedemikian rupa yang tidak memberatkan APBN, justru akan menambah aset-aset kita," ujar Suharso di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (18/1).
Skema pembiayaan pembangunan ibu kota negara yang disiapkan oleh pemerintah adalah APBN dan non-APBN. Beberapa di antaranya seperti Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), investasi swasta, dan BUMN.
"Jurusnya aka berbeda dan visi bisnis pemerintah akan tajam. Tidak dengan serta merta akan merugikan anak cucu kita, sama sekali tidak," ujar Suharso.