Kamis 13 Jan 2022 18:47 WIB

Pupusnya Permohonan JC Robin Bisa Hambat Penuntasan Dugaan Keterlibatan Lili

Permohonan status justice collaborator Stepanus Robin ditolak hakim.

Terdakwa Stepanus Robin Pattuju bersiap menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (12/1). Majelis Hakim memvonis mantan penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju dengan hukuman 11 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara juga dibebankan mengembalikan uang Rp 2,32 miliar ke negara atau pidana tambahan selama dua tahun penjara setelah terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus dugaan penerimaan suap pengurusan perkara di KPK. Republika/Thoudy Badai
Foto:

Berbeda dengan Feri, pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana Bonaprapta, menduga ada niat terselubung eks penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju ketika mengajukan diri menjadi JC. Menurutnya, upaya ini ditempuh Robin demi memperoleh pengurangan hukuman atas perbuatannya. 

"Bisa jadi permintaan sebagai JC itu strategi Robin agar dapat pengurangan hukuman," kata Gandjar kepada Republika, Kamis (13/1). 

Gandjar menjelaskan keinginan Robin membongkar oknum lain yang terlibat kasus suap penanganan perkara di KPK sebenarnya bisa dilakukan tanpa harus mengajukan JC. Menurutnya, Robin bisa mengusut sejauh mana keterlibatan Lili Pintauli dalam persidangan. 

"Mengenai JC, wajar permohonannya tidak dipenuhi. Karena dia bisa ungkap peran Lili tanpa harus jadi JC. Kalau dia jadi JC, tuntutannya (juga hukumannya) akan lebih ringan lagi karena itu kompensasi JC menurut SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) no. 4/2011," ujar Gandjar.

Merujuk pada SEMA No.4 Tahun 2011 dalam butir 9 memberikan pedoman kepada hakim untuk menentukan apakah seorang pelaku masuk dalam kategori justice collaborator. Di antaranya pelaku mengakui kejahatannya, pelaku bukan pelaku utama, dan pelaku memberikan keterangan sebagai saksi. 

Namun, ada pula pedoman lain yang mensyaratkan adanya pernyataan jaksa dalam tuntutannya yang menyebutkan bahwa pelaku sudah memberikan keterangan dan bukti-bukti sangat signifikan, sehingga bisa mengungkap tindak pidana secara efektif, mengungkap pelaku lain yang lebih besar, dan/atau mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana.

Dewan Pengawas (Dewas) KPK pada 30 Agustus 2021 menyatakan Lili Pintauli terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku sehingga dijatuhi sanksi berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan atau sebesar Rp 1,848 juta. Lili dinilai terbukti menggunakan kewenangannya sebagai pimpinan KPK kepada Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial agar membayar uang jasa pengabdian mantan Plt Direktur PDAM Tirta Kualo Ruri Prihatini yang merupakan saudara Lili.

Merespons vonis Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap Robin, KPK mengapresiasi. KPK menilai majelis Hakim telah memutus perkara ini secara independen sesuai tugas dan kewenangannya.

KPK menilai, apa yang telah dipertimbangkan dan diputuskan majelis hakim sudah sesuai dengan dakwaan tim jaksa. Meski, vonis hakim lebih rendah dari tuntutan 12 tahun penjara jaksa KPK.

"Sedangkan perbedaannya hanya pada berat ringannya hukuman saja," kata Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri di Jakarta, Rabu (12/1).

Ali mengatakan, selain itu majelis hakim juga memutus bagaimana peran-peran para pihak  sebagaimana yang dituangkan dalam permohonan JC terdakwa Stepanus. Dia melanjutkan, putusan itu juga sudah sesuai dengan fakta-fakta hukumnya.

"Setelah putusan ini, tim jaksa tentu akan melakukan analisis atas hasil putusan tersebut guna penyiapan langkah-langkah berikutnya," katanya. 

 

photo
Gaji Lili Pintauli - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement