REPUBLIKA.CO.ID, oleh Amri Amrullah, Meiliza Laveda, Bambang Noroyono
Penahanan penggiat media sosial Ferdinand Hutahahean usai diperiksa polisi pada Senin (11/1) malam sudah bisa diprediksi. Alasannya, posisi politik Ferdinand yang tidak jelas membuatnya tidak memiliki 'pegangan' saat berhadapan dengan kasus hukum.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor mengatakan, posisi Ferdinand Hutahaean memang lemah secara dukungan politik. Hal itu dikarenakan karier perjalanan politiknya yang sering berpindah-pindah, namun tidak kuat mengakar.
"Makanya menjadi sasaran yang empuk, maksudnya ringan bila ada resistensi penolakan publik terhadapnya. Dan polisi juga jauh lebih mudah untuk ditahan atau diantisipasi lebih jauh, dibanding pendengung lain yang memiliki posisi lebih firm karena ada sokongan politik jelas," ungkap Firman kepada wartawan, Selasa (11/1/2022).
Firman mengungkapkan hal ini setelah Ferdinand Hutahaean dalam waktu cepat lebih mudah ditahan aparat kepolisian setelah ia diperiksa. Hal ini berbeda dengan beberapa penggiat sosial media lain, yang dituduh sebagai pendengung dan sudah dilaporkan sebelum-sebelumnya ke polisi, namun hingga saat ini kasusnya tidak berjalan. Ia memberi contoh seperti nama Abu Janda, Eko Kunthadi, Ade Armando dan Denny Siregar.
Menurut Firman, posisi mereka sejak awal jelas keberadaannya dan tegas berada membela penguasa saat ini. Sedangkan Ferdinand, lanjut dia, perjalanan politiknya dan jejak digitalnya masih bisa dibaca bagaimana ia bersikap oposisi terhadap penguasa saat ini. Pernah mengkritik keras kelompok pendukung penguasa, sekaligus juga pernah mengkritisi kelompok kelompok oposan penguasa. Sehingga memang, ia melihat posisi Ferdinand sangat mudah untuk diserang.
"Ferdinand ini kan tidak jelas, baik dukungan masyarakatnya dan partai politiknya saat ini, sehingga lebih mudah untuk ditindak," imbuhnya.
Di sisi lain, ungkap Firman, justru setelah polisi menahan Ferdinanad ini publik menunggu langkah Polri selanjutnya menertibkan penggiat media sosial atau pendengung yang selama ini telah dilaporkan ke polisi. Ia menilai publik masih menaruh harapan kepada polri untuk meneruskan laporan-laporan terhadap Abu Janda dan Ade Armando cs. Karena, ia anggap penindaklanjutan laporan atas mereka juga setidaknya mampu menimbulkan rasa keadilan publik.
"Sejauh kasus-kasus mereka itu belum terlaksana atau ditindaklanjuti polisi dengan baik, sejauh itu pula mereka yang mengkritik pemerintah sebagai sikap yang bias, selalu mendapat pembenaran," jelas Firman.
Menurut Firman, beberapa kasus terhadap nama-nama mereka sudah jelas terang benerang, sudah masuk ranah SARA. Kasus mereka juga sama seperti Ferdinand sudah bisa ditindaklanjuti ke penyidikan, namun kenyataannya dibiarkan hingga saat ini. "Inilah yang akan menjadi catatan, yang tidak akan mudah dilupakan publik, meskipun polisi sudah tegas ke HRS, Habib Bahar Smith dan yang terakhir ke Ferdinand," tegas dia.
Walaupun Ferdinand yang dianggap bagian pendukung penguasa. Namun ia menilai publik masih akan membandingkan, bagaimana penegakkan hukum terhadap HRS, Habib Bahar Smith itu berbeda dengan Abu Janda, Denny Siregar dan Ade Armando. Karena itu ia berharap agar rasa keadilan ini dirasakan, setidaknya laporan terhadap mereka yang pro penguasa bisa ditindaklanjuti oleh polri.
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan mengapresiasi kepolisian atas penetapan tersangka Ferdinand. “Sudah sepatutnya Ferdinand dijebloskan ke penjara. Kami mengapresiasi pihak kepolisian dengan alasan untuk banyak hal, seperti untuk keamanan sekaligus dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Kami minta para ahli betul-betul memberikan keterangan sesuai dengan kompetensi dan keahliannya," kata Amirsyah kepada Republika..
Amirsyah menyebut sudah seharusnya para buzzer ditertibkan karena telah membuat kekacauan. “Apa yang dinyatakan Ferdinand hanya menimbulkan kekacauan, seperti kata pak Jusuf Kalla (JK). Buzzer ini satu per satu harus ditertibkan,” ujar dia.
Penertiban buzzer dilakukan demi menciptakan rasa aman masyarakat. Sebab, masyarakat yang aman dan damai adalah yang tertib hukum. Amirsyah mengingatkan agar para buzzer lain menjadikan kasus Ferdinand sebagai pembelajaran untuk berhati-hati berbicara di media sosial.
“Kalau buzzer lain tidak mau diingatkan ya tunggu waktunya. Berhati-hatilah depan publik. Walaupun hanya sebatas Twitter, tetapi kalau itu sudah lepas jari masuk ranah publik, harus dipertanggungjawabkan,” tambahnya.
Ferdinand Hutahaen, sempat mengaku sakit saat hendak ditetapkan tersangka dan ditahan. Pengakuan sakit tersebut dilakukannya dengan membawa surat keterangan sakit dari dokter untuk meyakinkan tim penyidik agar tak ditetapkan tersangka, dan ditahan.
Tapi alasan tersebut tak laku bagi tim penyidikan. Direktorat Tindak Pidana Siber (Dirtipid Siber) Bareskrim Polri tetap menetapkan Ferdinand Hutahaean sebagai tersangka.
Setelah melakukan pemeriksaan selama lebih dari 13 jam, penyidik juga menjebloskan Ferdinand Hutahaean ke sel tahanan di Rutan Mabes Polri, Senin (1/10) malam. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Humas Mabes Polri, Brigadir Jenderal (Brigjen) Ahmad Ramadhan mengatakan, alasan dan surat sakit yang dibawa Ferdinand Hutahaean, tak bisa dipertanggungjawabkan.
Ramadhan pun tak mengetahui keterangan sakit yang diajurkan Ferdinand terkait dengan penyakit apa. “Setelah dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh tim Pusdokkes Polri, dinyatakan yang bersangkutan saudara FH, setelah ditetapkan sebagai tersangka, layak untuk dilakukan penahanan,” ujar Ramadhan.
Kata Ramadhan, tim penyidik menahan Ferdinand Hutahaen selama 20 hari, terhitung sejak ditetapkan tersangka kemarin malam. Kata dia, ada alasan subjektif dan objektif mengapa penyidik tetap melakukan penahanan terhadap Ferdinand Hutahaean.