REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakkir, menegaskan bahwa kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi haruslah berdasarkan kerugian faktual. Dia mengatakan, kerugian negara yang dihitung dalam perkara kasus korupsi Asabri harus juga faktual dan bukan kerugain potensi.
"Kalau dessenting opinion hakim tersebut menilai dan menyimpulkan bahwa perhitungan BPK tersebut tidak mendasarkan kepada kerugianya faktual atau riil/nyata dan bisa buktikan kekeliruan metode perhitungan kerugian keuangan negara dalam perkara tipikor, berarti dessenting opinion tersebut dinilai sebagai sikap yang tepat dan sesuai dengan putusan MK," kata Mudzakkir dalam keterangan, Rabu (5/1).
Dia menilai, Anggota Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Mulyono Dwi Purwanto menunjukan sikap berani dengan perbedaan pendapat tersebut. Mulyono berpendapat bahwa perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus Asabri sebesar Rp 22 triliun tidak tepat dan tidak terbukti karena penghitungan tidak berdasarkan pada kerugian faktual.
Menurutnya, hakim harus berani mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah termasuk dalam perkara korupsi. Dia menegaskan bahwa independensi hakim dijamin oleh konstitusi dan yang terpenting terbukti terdapat kekeliruan dalam metode perhitungan kerugian keuangan negara yang tidak berdasarkan kerugian faktual.
Sebelumnya, Anggota Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Mulyono Dwi Purwanto menilai perhitungan kerugian negara sebesar Rp 22,788 triliun oleh BPK dalam kasus dugaan korupsi Asabri tidak tepat, tidak terbukti dan tidak mempunyai dasar. Hal ini disampaikan oleh Hakim Mulyono yang menyatakan dissenting opinion atau berbeda pendapat dalam memutus empat terdakwa kasus Asabri di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (4/1) lalu.
"Perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPK tidak punya dasar yang jelas dan tidak memenuhi kerugian negara yang nyata dan pasti sehingga (kerugian) Rp 22 triliun tidak berdasar dan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan," kata Hakim Mulyono saat membacakan dissenting opinion.
Menurutnya, BPK dan ahli tidak konsisten dan tidak tepat ketika melakukan perhitungan kerugian negara dalam kasus Asabri ini. Berdasarkan perhitungan BPK, kerugian negara Rp 22,788 triliun berasal jumlah saldo yang dibeli atau diinvestasikan pada saham setelah dikurangi penjualan atau redemption saldo 31 Desember 2019, sebelum laporan audit selesai 31 Maret 2021.
Mulyono meyakini metode yang dipakai adalah total loss yaitu diakui penerimaan dana sebelum audit selesai. Dia menilai, dengan metode penghitungan ahli itu maka saham atau efek tersebut masih memiliki nilai bila dijual atau dilikuidasi reksadananya.
Menurutnya, walau pembelian menyimpang tetapi masih menghasilkan dana kas bagi PT Asabri. Dana kas tersebut memang tidak pasti karena harganya berfluktuasi. Karenanya, Hakim Mulyono menilai lebih fair untuk menghitung dana kas dalam kerugian negara tersebut.