REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota panitia khusus (Pansus) rancangan undang-undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) Fraksi Partai Demokrat Muslim mengatakan, pihaknya memang telah menyepakati perubahan diksi menjadi pemerintah daerah khusus IKN. Namun meski hanya perubahan diksi, pendalaman terhadap RUU harus dilakukan kembali.
"Setelah perubahan terletak pada perubahan frasa pemerintah khusus IKN menjadi pemerintah daerah khusus IKN, namun tidak merubah substansi pendalaman. Artinya apa, kita dari Fraksi Partai Demokrat sementara ini masih kita pelajari dulu, karena kita juga bahan belum terima," ujar Muslim dalam rapat dengan pemerintah, Rabu (15/12).
Sementara itu, anggota Pansus Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ecky Awal Mucharam mengatakan, bahwa pihaknya ingin agar Pasal 18b ayat (1) harus menjadi konsideran mengingat dalam penetapan perubahan menjadi pemerintah daerah khusus IKN. Pasalnya, pasti ada sejumlah konsekuensi dalam perubahan tersebut.
"Konsekuensi-konsekuensi terkait DIM (daftar inventarisasi masalah) dan konstruksi seperti apa kaitannya. Termasuk dengan isu otorita pertanahan dan sebagainya memang harus dipaparkan lebih dalam," ujar Ecky.
Wakil Ketua Pansus RUU IKN Saan Mustopa mengatakan, perubahan diksi menjadi pemerintah daerah khusus IKN tentu akan berimplikasi dengan DIM RUU IKN dari sembilan fraksi. Namun ia menilai, perubahan diksi tersebut tak mengubah substansi yang ada dalam RUU tersebut.
"Jadi saya tawarkan supaya waktu kita efisien dan efektif dan tidak mengurangi substansi dari pembahasan undang-undang ini, karena memang sudah menjadi komitmen kita," ujar Saan.
"Dengan waktu yang tersedia, kita ingin menghadirkan UU Ibu Kota Negara ini yang berkualitas dan tentu tidak mudah untuk digugat oleh orang lain," sambung politikus Partai Nasdem itu.
Diketahui, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan, pemerintah sepakat mengganti diksi pemerintahan khusus ibu kota negara (IKN) menjadi pemerintahan daerah khusus IKN. Hal itu disepakati setelah pihaknya menerima sorotan ihwal pemerintahan khusus IKN yang dinilai bertentangan dengan Pasal 18b ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
"Perubahan dari diksi pemerintahan khusus IKN menjadi pemerintah daerah khusus IKN. Kemudian ada perubahan konsep kelembagaan pemerintah IKN, sebatas fungsi pada persiapan, pembangunan, dan pemindahan ibu kota negara," ujar Suharso.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, mengkritisi Rancangan undang-undang Ibu Kota (RUU IKN) yang mengatur pembentukan pemerintahan khusus IKN. Menurutnya, konsep pemerintahan khusus tak sejalan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Feri menilai pemerintahan khusus IKN tak sesuai dengan Pasal 18b UUD 1945. Dalam pasal itu disebutkan, bahwa Indonesia mengakui pemerintahan daerah di mana terdiri dari provinsi, kabupaten, dan kota.
"(pemerintahan khusus IKN) Tidak tepat karena kalau dilihat UUD pasal 18 terang benderang Indonesia itu terdiri dari pemerintah daerah yaitu provinsi, kabupaten dan kota," kata Feri kepada Republika, Rabu (15/12).
Berbeda dengan Feri, pakar hukum tata negara Yusri Ihza Mahendra menilai, pembentukkan pemerintahan khusus IKN sah-sah saja dilakukan. Namun, ia menekankan pembentukkannya harus sesuai koridor UUD 1945.
"Sepanjang dibentuk dengan UU dan tidak bertentangan dengan norma konstitusi dalam UUD 45 tidak masalah," kata Yusril kepada Republika, Rabu (15/12).
Yusril tak sepakat bila pembentukkan pemerintahan khusus IKN akan menimbulkan polemik "negara di dalam negara". Menurut mantan Menkumham itu, penggunaan istilah pemerintahan khusus IKN sudah tepat.
"Kalau disebut Pemerintah Darerah Khusus seperti DKI Jakarta malah menimbulkan kontradiksi. Di satu pihak adalah “Ibu Kota Negara” yang langsung dikelola Pemerintah Pusat, tetapi di lain pihak adalah “Daerah” yang tuntuk pada UU Pemerintahan Daerah," ujar Yusril.