Sabtu 11 Dec 2021 09:27 WIB

Selebrasi HAM Yang Minus Keadilan

Negara agaknya memiliki resistensi menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu.

Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan melakukan Aksi Kamisan di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (25/11/2021). Aksi Kamisan ke-706 itu menuntut pembuktian pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang akan mengambil langkah strategis untuk mempercepat penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Foto:

Oleh : M Nasir Djamil, Anggota Komisi III DPR RI

Ragam akan pilihan mekanisme penyelesaian kasus HAM masa lalu di Indonesia juga semakin menyempit pascapembatalan keseluruhan terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) oleh Mahkamah Konstitusi. Hingga saat ini belum adanya kesepakatan politik antara pemerintah dan DPR untuk kembali membahas Rancangan Undang-Undang tentang KKR yang mestinya patut menjadi perhatian yang penting dan mendasar sebagaimana amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-IV/2006.

Situasi ini patut menjadi warning karena Indonesia agaknya mengarah menjadi negara impunitas. Pernyataan-pernyataan pengambil kebijakan juga cenderung kontraproduktif terhadap penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Seperti halnya statemen Jaksa Agung ST Burhanuddin di gedung parlemen yang akhirnya menjadi perbincangan secara luas yang menyatakan Peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat. Seolah-olah terkesan memang negara agaknya memiliki resistensi untuk menuntaskan pelanggaran-pelanggaran HAM berat masa lalu dengan segera.

Komitmen Pemerintah

Kunci pemulihan indeks demokrasi Indonesia serta mulusnya penyelesaian HAM masa lalu sangat bergantung kepada kemauan pemerintah untuk berbenah. Benar adanya bahwa untuk menjaga kualitas demokrasi tidak cukup hanya mengandalkan peran pemerintah melainkan juga dibutuhkan peranan pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya. Tapi harus diingat, bahwa negara sebagai sebuah organisasi kekuasaan harus menjadi lokomotif utama agar gerak kualitas demokrasi kita melangkah kedepan tidak kebelakang.

Presiden jokowi harus menyadari dan segera merevisi kebijakan-kebijakannya yang anti demokrasi dengan pendekatan illiberal untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia. Beberapa diantaranya seperti penerbitan PERPPU No.2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang mengabaikan proses peradilan (due process of law) dan mengangkangi kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin dalam Konstitusi Indonesia.

Kemudian juga penerapan UU No.19/2016 tentang Informasi Teknologi Informasi. Penafsiran undang-undang ini keluar dari filosofi dan tujuan awal pembentukanya yaitu memberikan perlindungan kepada konsumen dalam tranksaksi elektronik. UU ITE menjadi pemantik para pejabat dan bahkan sesama warga negara untuk saling lapor dan membungkam perbedaan dan kritik secara legal. Dengan kata lain UU ITE secara tidak langsung ikut mengaburkan tingkat toleransi ditengah-tengah masyarakat dalam menyikapi perbedaan di ruang-ruang publik dan digital.

Disamping itu penanganan aksi-aksi massa oleh aparat kepolisian juga cenderung represif sehingga menjadi ancaman bagi kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat. Oleh karenanya, pemerintah harus mengevaluasi diri secara menyeluruh atas kebijakan yang diambil dengan menempatkan prinsip-prinsip hukum dan HAM sebagai pertimbangan utama.

Komitmen dan konsistensi pemerintah juga dibutuhkan dalam pemenuhan dan penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, Benar permasalahan HAM merupakan tanggung jawab bersama (jus cogen and erga omnes obligation). Namun tanggung jawab negara terikat sebagai pemangku HAM (duty barier) dengan konsekuensi responsibility dan laibility atas pelanggaran atau kejahatan HAM yang terjadi.

Presiden Jokowi idealnya dapat dengan mudah menuntaskan perkara-perkara kejahatan HAM masa lalu dikarenakan ia pemimpin yang lahir pascareformasi dan tidak memiliki beban masa lalu. Alih-alih demikian, tujuh tahun pemerintahan Jokowi telah berjalan namun tidak ada satupun pelanggaran HAM berat masa lalu yang bisa dituntaskan. Masih ada waktu tersisa tiga tahun lagi bagi Presiden Jokowi untuk menuntaskan janji-janji kampanyenya sejak tahun 2014, agar kebenaran dapat terungkap dan keadilan dapat dihadirkan, sehingga Indonesia dapat melaju menatap masa depan dengan mantap tanpa bayang-bayang dosa masa lalu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement