Sabtu 11 Dec 2021 09:27 WIB

Selebrasi HAM Yang Minus Keadilan

Negara agaknya memiliki resistensi menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu.

Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan melakukan Aksi Kamisan di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (25/11/2021). Aksi Kamisan ke-706 itu menuntut pembuktian pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang akan mengambil langkah strategis untuk mempercepat penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Foto:

Oleh : M Nasir Djamil, Anggota Komisi III DPR RI

Hal diatas mungkin tak berlebihan jika menilik pada hasil kajian dari pelbagai lembaga riset yang menyatakan demokrasi dan pemenuhan HAM di Indonesia diibaratkan seperti Tari Poco-Poco, mundur ke belakang. Indeks Demokrasi dan HAM di Indonesia bergerak dari fase stagnasi ke fase regresi. Sebut saja hasil kajian dari Global Peace Index 2020 Vision on Humanity dari for Economic and Peace, meletakkan indonesia sebagai negara yang mengalami kemerosotan penegakan HAM. Demikian juga Habibi Centre dalam kajiannya yang dirilis pada 9 Juni 2021 mengulas kualitas demokrasi Indonesia yang menurun secara signifikan tidak hanya menyetuh aspek kebebasan sipil dan pluralisme melainkan juga fungsi pemerintahan.

Ketakutan akan kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat secara merdeka menjadi salah satu faktor utama kemunduran demokrasi dan pemenuhan HAM di Indonesia. UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Teknologi Informasi (ITE) kerap menjadi momok yang sangat menakutkan bagi masyarakat sipil untuk bersuara dan berekspresi secara merdeka, terlebih bagi mereka yang mengambil posisi berseberangan dan kritis terhadap kebijakan pemerintah.

Situasi diatas terangkum dalam rilis yang dikeluarkan oleh sejumlah lembaga survei di Indonesia. Survei Indikator Politik Indonesia (IPI) pada 24-30 September 2020 menyatakan 69.6 persen responden setuju publik kian takut menyampaikan pendapat. Hasil serupa juga disampaikan oleh LP3ES dalam survei yang dilaksanakan pada medio April 2021, dimana sebanyak 52.1 persen responden setuju adanya ancaman kebebasan sipil dan ketakutan masyarakat dalam berpendapat.

Kondisi yang tak kalah mengerutkan dahi di tengah hiruk-pikuk peringatan Hari HAM di Indonesia ialah masih terpampangnya wajah-wajah kemurungan dan kepasrahan dari para keluarga korban pelanggaran kejahatan HAM berat di masa lalu. Wajah-wajah yang terus-menerus memupuk asa dan harapan untuk sebuah kata kebenaran dan pemenuhan keadilan dari otoritas negara.

Upaya-upaya perjuangan akan keadilan dan kebenaran oleh keluarga korban memang tak pernah putus. Sebut saja aksi kamisan di depan Istana Negara yang digelar secara konsisten dan periodik. Enam ratus kali lebih aksi kamisan telah dilaksanakan sejak 18 Januari 2007 hingga sekarang, seolah aksi tersebut tak mampu menjadi cermin dan membuka mata penguasa bahwa negara sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) dalam hal terjadinya pelanggaran HAM berat bertugas untuk menwujudkan pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM berat dengan menggunakan mekanisme yang transparan, akuntabel, dan legal.

Gagalnya Keadilan Transisional.

Justice delayed is justice denined, pepatah hukum (legal maxim) ini memberikan makna mendalam bahwa sebuah keadilan harus dihadirkan secara cepat dan tepat, pengabaian dan keterlambatan akan sebuah keadilan yang dibutuhkan oleh individu atau kelompok yang hak-haknya telah dilanggar merupakan bentuk lain dari ketidakadilan yang dilakukan oleh negara.

Lebih dari dua dekade reformasi di Indonesia bergulir, namun proses pengungkapan kebenaran, pemulihan dan pemenuhan keadilan atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu belum ada tanda-tanda untuk dituntaskan. Publik dan para keluarga korban seperti diombang-ambing antara penyelesaian dengan pendekatan yudisial dan non-yudisial. Disaat yang bersamaan agenda-agenda pengungkapan kebenaran dan pemenuhan keadilan pelanggaran HAM masa lalu semakin kabur dan jauh dari dialektika atau pembicaraan publik.

Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu melalui mekanisme yudisial selama ini jalan ditempat, begitu rumit untuk dilaksanakan, ibarat seperti meluruskan benang yang kusut sulit untuk diurai. Berkas-berkas hasil penyelidikan pelanggaran dan kejahatan HAM berat masa lalu yang diamanatkan oleh undang-undang kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) selalu saja ditolak oleh Penyidik Kejaksaan Agung dengan alasan tidak cukupnya alat bukti. Perbedaan persepsi antara Komnas HAM dan Kejagung dalam menyikapi hasil penyelidikan terus terjadi berulang kali.

Kebekuan pandangan antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung agak mencair baru-baru ini. Secercah harapan mungkin mulai lahir seiring adanya inisiatif dari Kejakasaan Agung untuk membentuk Tim penyelesaian Kasus HAM berat dan upaya penyidikan umum perkara pelanggaran HAM dalam rangka mencari dan mengumpulkan alat bukti sebagai tindak lanjut dari penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM. Namun inisiatif baik ini belum mampu sepenuhnya menjawab harapan publik dan keluarga korban dikarenakan tim yang dibentuk Kejagung masih seumur jangung, sehingga sangat dini untuk diposisikan sebagai game changer untuk menghadirkan keadilan transisional di Indonesia yang terlunta-lunta.

Ragam akan pilihan mekanisme penyelesaian kasus HAM masa lalu di Indonesia juga semakin menyempit pascapembatalan.....

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement