Kamis 25 Nov 2021 13:24 WIB

Dudung Cegah Radikalisme, Kontras: Itu Tugas BNPT Bukan TNI

Kontras mengkritik Jenderal Dudung yang berencana turun tangan mencegah radikalisme.

Rep: Haura Hafizhah/ Red: Mas Alamil Huda
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman. Kontras mengkritik Jenderal Dudung yang berencana turun tangan mencegah radikalisme.
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman. Kontras mengkritik Jenderal Dudung yang berencana turun tangan mencegah radikalisme.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengkritik Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung yang berencana turun tangan mencegah radikalisme. Langkah Dudung ini dinilai berlebihan dan tidak sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) TNI.

"Pada hakikatnya, kewenangan untuk mengatasi radikalisme merupakan tupoksi dari Kepolisian dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) sebagaimana diamanatkan UU Terorisme. TNI seharusnya fokus kepada tupoksinya sendiri dalam menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, dan melindungi bangsa dari segala ancaman," kata Wakil Koordinator Kontras, Rivanlee Anandar, kepada Republika.co.id, Kamis (25/11).

Baca Juga

Jenderal Dudung sebelumnya meminta prajurit TNI AD hingga level Babinsa peka terhadap situasi di lingkungan masing-masing. Dalam wawancara dengan sebuah media, Dudung meminta anggotanya untuk awas terhadap gerakan ekstrem kanan maupun kiri, dan segera mengambil tindakan bila ada organisasi atau siapapun yang mencoba mengganggu keamanan NKRI.

Menurut Anandar, wacana ini justru mendorong pelibatan TNI dalam ranah sipil yang jelas tidak sesuai dengan undang-undang dan amanat reformasi. Selain itu, pengerahan kekuatan TNI sebagai angkatan bersenjata untuk mengurusi ranah sipil juga berpotensi mencederai demokrasi dan memperburuk kondisi hak asasi manusia.

Belum lagi, tambah dia, tingkat kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI masih terbilang tinggi dan korban utama dari tindakan tersebut adalah masyarakat sipil. Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, TNI AD selalu menempati posisi tertinggi dalam hal melakukan kekerasan jika dibandingkan dengan matra yang lain, sebab TNI AD merupakan satuan yang paling banyak berinteraksi dengan masyarakat. 

"Dengan adanya ketimpangan relasi yang tinggi antara prajurit TNI dan masyarakat sipil, gesekan dan potensi pelanggaran HAM akan semakin besar terjadi," kata dia.

Ketimbang melakukan hal-hal di luar tupoksi, KSAD disarankan fokus untuk membenahi pekerjaan rumah institusi TNI yang tidakkunjung usai. Di antaranya, kultur kekerasan yang terus terjadi, keterlibatan TNI yang masif di ranah sipil dan mandeknya reformasi peradilan militer. 

Selain itu, kata Anandar, Jenderal Dudung juga harus dapat mengeksekusi arahan Panglima TNI yang berkomitmen untuk menyelesaikan situasi kemanusiaan di Papua lewat pendekatan nir-kekerasan. 

"Saya juga menyoroti ucapan atau arahan KSAD ini dapat dijadikan prajurit di lapangan sebagai legitimasi melakukan stigma terhadap berbagai kelompok yang dianggap radikal. Belum lagi definisi dan standar radikal tidak jelas ukurannya selama ini dan hanya menggunakan tafsir tunggal negara," kata dia.

Kontras mengaku khawatir keterlibatan berlebihan TNI dalam menumpas gerakan radikalisme akan memiliki potensi yang sama. Sebab, meluasnya domain militer akan berimplikasi pada penyempitan ruang-ruang sipil.

"Kami mendesak KSAD untuk membatalkan wacana terlibat jauhnya aparat TNI dalam melakukan penangkalan terhadap gerakan radikalisme," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement