REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi I DPR RI, Farhan, merespons dikeluarkannya Surat Telegram Panglima TNI Nomor ST/1221/2021 tentang Prosedur Pemanggilan Prajurit TNI oleh Aparat Penegak Hukum. Menurutnya, aturan tersebut dinilai bentuk introspeksi untuk lembaga hukum militer TNI agar bisa menegakkan sebuah hukum acara yang adil dan mengayomi bagi seluruh anggota TNI.
"Karena bagaimanapun juga walaupun militer memiliki sistem hukum tersendiri, mereka tidak terlepas dari sistem hukum negara Republik Indonesia. Dalam hal ini apabila mereka bersinggungan dengan masalah hukum sipil," kata Farhan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/11).
Untuk diketahui, dalam Surat Telegram Panglima TNI itu dijelaskan, pemeriksaan terhadap prajurit TNI dalam peristiwa hukum tak bisa dilakukan tanpa seizin komandan atau kepala satuan. Panglima TNI Jenderal Andika memastikan aturan tersebut bukan upaya untuk menghalangi penegakan hukum terhadap anggota TNI.
Namun, telegram itu dimaksudkan untuk meminimalkan kesalahpahaman antara TNI dan Polri atau dengan aparat penegak hukum lain, terkait proses pemeriksaan, permintaan keterangan, atau penyelidikan, pun penyidikan suatu peristiwa hukum yang ditangani kepolisian.
"Selama ini kan juga sudah berlangsung, dan sama sekali bukan berarti kita menutup pemeriksaan, nggak,” kata Andika setelah melakukan pertemuan dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di Mabes Polri, Selasa (23/11).
Selain itu, Farhan juga menilai, Telegram Panglima TNI tertanggal 5 November 2021 itu bentuk konsolidasi dari panglima yang baru terhadap internal TNI agar seluruh personel TNI dalam melakukan kegiatan di luar markas dan detasemennya harus atas sepengetahuan komandan. Menurutnya, banyak kejadian-kejadian yang melibatkan anggota TNI yang justru terjadi di luar detasemen, di luar markas, tanpa sepengetahuan sang komandan.
Dirinya mencontohkan, peristiwa perkelahian antara anggota TNI dengan preman di sebuah klub di Yogyakarta yang mengakibatkan preman tersebut tewas. "Sebetulnya kalau dilihat dari kejadiannya sih seharusnya mereka bener. Tetapi secara prosedural tentu saja salah karena keberadaan para personel itu tidak sesuai dengan izin dari komandannya," ucapnya.
Politikus Partai NasDem itu memandang, aturan baru tersebut tak mencederai proses penegakan hukum itu sendiri. Sebaliknya Farhan menyebut hal itu harus dilihat sebagai upaya untuk mengembalikan atau merestorasikan prosedur yang sebenarnya.
"Ketidakhadiran atau ketidakpatuhan terhadap prosedur ini tentu akan menimbulkan berbagai macam masalah. Mulai dari hal-hal seperti tiba-tiba kita mendengar sebuah keributan, sebuah kerusuhan, kejadian yang paling mengerikan kemarin waktu tentara tiba-tiba membakar mapolsek di Ciracas, itu kan hal itu tidak boleh terjadi lagi," jelasnya.
"Karena bagaimana pun juga ini sebagai bagian dari konsolidasi sehingga kalau polisi, KPK, atau kejaksaan akan memanggil seorang personel TNI maka siapapun atasannya harus tahu. Nggak boleh nggak tahu," imbuhnya.
Baca juga : Cerita Petugas Swab: Erick Thohir Bayar PCR Sendiri