REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), mengatakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang tidak menerima gugatan kelompok kongres luar biasa (KLB) merupakan kemenangan bagi demokrasi. AHY menegaskan, upaya pengambilalihan partai secara ilegal oleh Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko merupakan tindakan melawan rakyat.
"Bagi kami, keputusan hukum ini memberi pesan hangat bagi demokrasi kita sebagai tanda kemenangan bagi rakyat," ujar AHY lewat rekaman video yang disiarkan saat jumpa pers di Jakarta, Rabu (24/11).
Menurutnya, putusan majelis hakim PTUN Jakarta memperkuat putusan Mahkamah Agung yang tidak menerima uji materiil AD/ART Partai Demokrat. "Keputusan PTUN ini telah mengonfirmasi keyakinan kita. Sebab jika mengikuti alur logika hukum yang disampaikan oleh putusan Mahkamah Agung, maka legal standing dalam materi gugatan KSP (pimpinan) Moeldoko di PTUN menjadi semakin tidak relevan," kata AHY.
Dalam kesempatan yang sama, AHY turut menyampaikan apresiasi kepada para pihak yang turut berperan menjaga demokrasi di Indonesia. "Apresiasi itu kami sampaikan kepada para hakim di Mahkamah Agung, jajaran Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta, jajaran Kementerian Polhukam dan Kemenkumham, Tim Hukum Partai Demokrat, para pegiat, aktivis dan pejuang demokrasi, para akademisi, pakar hukum," sebut AHY.
AHY menegaskan, partai politik adalah kepanjangan suara dari rakyat. Maka dari itu, upaya pengambilalihan partai secara ilegal oleh Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko merupakan tindakan melawan rakyat.
"Jika upaya pengambilalihan partai politik ini dilakukan lagi, maka yang melawan adalah rakyat, bukan hanya sekedar partai politik," tegas AHY dari Amerika Serikat.
"Mengganggu rumah tangga, sekaligus berupaya untuk mengambil alih partai politik secara inkonstitusional adalah sama saja dengan mengganggu rakyat itu sendiri," sambungnya.
Selain itu, AHY mengaku telah mendengarkan masukan dan diperingatkan para seniornya di TNI terkait Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko. Bahkan, para seniornya mengatakan bahwa mantan Panglima TNI itu akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.
"KSP Moeldoko akan melakukan langkah apapun, bahkan menghalalkan segala cara, termasuk upaya yang senior saya katakan, yaitu upaya membeli hukum," ucapnya.
Namun, ia yakin bahwa hukum di Indonesia akan selalu tegak menghadapi pihak-pihak yang seperti itu. Selama Partai Demokrat terus memperjuangkan dan itu mendapat dukungan oleh rakyat dan ridho dari Tuhan.
"Hukum akan tetap tegak, hukum tetap tidak akan bisa dibeli selama kita berjuang di atas kebenaran," ujar putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu.
Menurutnya, hal tersebutlah yang tak dimiliki oleh Moeldoko dan orang-orang yang menjerumuskannya untuk mengambil alih Partai Demokrat. Bahkan, para senior TNI heran dengan perbuatan yang dilakukan oleh Moeldoko.
"Bagi kami, putusan hukum ini adalah wake up call bagi para perusak demokrasi. Jangan ada lagi niat sedikitpun bagi siapa pun, bahkan meski mereka sedang berada di kursi kekuasaan, untuk mengambil alih kepemimpinan sebuah partai politik melalui upaya KLB ilegal," ujar AHY.
Seperti diketahui, Majelis hakim PTUN Jakarta tidak menerima gugatan kelompok KLB yang meminta majelis hakim mengesahkan Jenderal TNI (Purn) Moeldoko sebagai ketua umum (ketum) Partai Demokrat. Majelis hakim PTUN Jakarta lewat keputusannya di Jakarta, Selasa (23/11), menyampaikan pihaknya tidak berwenang mengadili gugatan KLB karena itu urusan internal partai politik.
KLB pada gugatannya yang tercatat dalam perkara nomor 150/G/2021/PTUN-JKT sebelumnya meminta kepada majelis hakim untuk membatalkan SK Menkumham yang menolak perubahan AD/ART serta susunan pengurus partai hasil pertemuan di Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara, pada 5 Maret 2021.
Hasil pertemuan di Sibolangit itu, salah satunya, menetapkan Moeldoko sebagai ketua umum partai. Dalam gugatan yang sama, KLB juga meminta kepada majelis hakim memerintahkan Menkumham Yasonna Laoly mencabut surat keputusannya itu dan menerima perubahan AD/ART dan susunan pengurus versi KLB. Namun, majelis hakim menetapkan permintaan KLB itu merupakan urusan internal partai politik yang bukan jadi kewenangan PTUN Jakarta.