Rabu 10 Nov 2021 16:47 WIB

Ijtima Ulama: Panggung Mahfud Tegaskan RI Bukan Negara Agama

Ijtima Ulama bahas masalah strategis seperti penodaan agama, jihad, hingga khilafah.

Menkopolhukam Mahfud Md memberikan paparan pada acara Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-VII di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (7/11). MUI menggelar Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-VII untuk membahas berbagai persoalan keumatan dan kebangsaan dalam perspektif keagamaan. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Menkopolhukam Mahfud Md memberikan paparan pada acara Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-VII di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (7/11). MUI menggelar Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-VII untuk membahas berbagai persoalan keumatan dan kebangsaan dalam perspektif keagamaan. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Flori Sidebang, Fuji Eka Permana, Rossi Handayani

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD berbicara mengenai penerapan Syariah Islam dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal itu Mahfud sampaikan saat menghadiri Ijtima Ulama, Komisi Fatwa MUI se-Indonesia di Jakarta, Selasa (9/11).

Baca Juga

Mahfud menegaskan, di dalam negara Pancasila sebagai negara kebangsaan yang berketuhanan, negara tidak memberlakukan hukum agama tertentu, tetapi melindungi semua pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Menurutnya, negara Pancasila yang berbentuk NKRI adalah mietsaqon ghaliedza atau modus vivendi yang oleh NU sering disebut sebagai Dar al Mietsaq dan oleh Muhammadiyah disebut Dar al Ahdi wa al Syahadah, ada juga yang menyebut sebagai Dar al Hikmah.

"Dalam istilah yang lebih akademis konsep Dar al Mietsaq atau Dar al Ahdi sering disebut sebagai Religious Nation State, negara kebangsaan yang berketuhanan, bukan negara agama tapi juga bukan negara sekuler," kata Mahfud.

Kemudian, terkait penerapan syariah Islam dalam konteks NKRI, Mahfud menjelaskan, syariah dalam arti luas mencakup semua jalan atau ajaran Islam yang meliputi akidah, akhlak, ibadah mahdhah, muamalah. Sedangkan syariah dalam arti khusus sering dikaitkan dengan hukum yang lebih spesifik, yakni fiqh.

"Syariah dalam arti spesifik ini melahirkan aturan-aturan tentang ibadah baik mahdhah maupun ghairu mahdhah sehingga lahir kajian-kajian tentang fiqh ibadah (ritual) dan fiqh sosial yang banyak cabang-cabang nya seperti Jinayah, Syakhsiyah, Siyasah, Mi’sa, dan lain sebagainya," jelas dia.

Menurut Mahfud, syariah dalam arti luas dapat dilaksanakan oleh pemeluk agama Islam dengan perlindungan negara. Sementara itu, syariah dalam arti khusus, seperti hukum Fiqih Muamalah bergantung pada bidang hukumnya.

"Untuk hukum publik seperti tata negara, administrasi negara, lingkungan hidup, dan lain-lain berlaku unifikasi atau berlaku yang sama untuk seluruh rakyat. Disini bertemu Kalimatun Sawa," ujarnya.

Untuk hukum privat, lanjut Mahfud, baik ritual maupun sosial bisa berlaku hukum masing-masing berdasar pilihan dan keyakinannya sendiri dan negara melindungi.

"Jika disepakati secara legislasi yang privat pun bisa hukum nasional. Misalnya tentang perkawinan, tentang Wakaf, tentang pengelolaan zakat,  tentang jaminan produksi halal, tentang peradilan agama dan tentang kompilasi hukum Islam," tutur dia.

Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-VII digelar pada 9-11 November 2021. Kegiatan ijtima ulama ini dilaksanakan secara hybrid dengan protokol kesehatan, diikuti oleh 700 peserta undangan. Peserta yang hadir secara fisik sebanyak 250 orang, dan sisanya hadir secara virtual.

Kepesertaan dalam kegiatan ijtima ulama kali ini terdiri dari Dewan Pertimbangan dan Dewan Pimpinan MUI, pimpinan dan anggota Komisi Fatwa MUI pusat, pimpinan lembaga fatwa ormas Islam tingkat pusat, Ketua MUI Bidang Fatwa dan Komisi Fatwa MUI Provinsi se-Indonesia, Pimpinan Pondok Pesantren, Pimpinan Fakultas Syariah PTKI, serta para pengkaji, peneliti, dan akademisi di bidang fatwa.

Ketua MUI, Asrorun Niam Sholeh yang juga Ketua Panitia Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia menjelaskan, agenda Ijtima kali ini akan membahas pelbagai persoalan strategis kebangsaan, masalah fikih kontemporer, serta masalah hukum dan perundangan-undangan.

"Dalam forum ini akan dibahas masalah strategis kebangsaan di antaranya tentang dhawabith dan kriteria penodaan agama, jihad dan khilafah dalam bingkai NKRI, panduan pemilu yang lebih masalahat, distribusi Lahan untuk pemerataan dan kemaslahatan, dan masalah perpajakan," kata Asrorun, Senin (8/11).

Niam melanjutkan, Ijtima yang bertema "Optimalisasi Fatwa untuk Kemaslahatan Bangsa" juga akan membahas mengenai hukum Pernikahan Online. "Masalah lain yang ibahas adalah masalah fikih kontemporer seperti nikah online, cryptocurrency, pinjaman online, transplantasi rahim, zakat perusahaan, penyaluran dana zakat dalam bentuk qardh hasan, dan zakat saham", ucapnya.

Untuk masalah hukum dan perundang-undangan, Ijtima akan membahas tinjauan atas RUU Minuman Beralkohol, tinjauan atas RKUHP terkait perzinaan, dan tinjauan atas Peraturan Tata Kelola Sertifikasi Halal.

In Picture: Muhammadiyah Luncurkan Rencana Jangka Panjang Pendidikan

photo
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir memberikan pengantar sebelum meluncurkan Rencana Jangka Panjang Pendidikan (RPJP) Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah di Gedung PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Rabu (10/11). RPJP Dikdasmen ini disusun untuk Tahun 2021 hingga Tahun 2045. RPJP ini berfungsi sebagai panduan arah pendidikan di Muhammadiyah. - (Wihdan Hidayat / Republika)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement