Lalu, untuk mempertajam literasi masyarakat umum akan batas-batas etis berperilaku di lingkungan perguruan tinggi Indonesia, serta konsekuensi hukumnya. “Moral dan akhlak mulia menjadi tujuan utama pendidikan kita sebagaimana tertuang dalam UUD, UU 20/2003, UU 12/2012, dan berbagai peraturan turunannya. Termasuk Permendikbud No 3/2020 tentang standar nasional pendidikan tinggi,” kata Nizam.
Sementara, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menilai memahami norma dalam Permendikbudristek tidak dapat dilepaskan dari konteks pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Menag menjelaskan dengan mengumpamakan bila terjadi tindakan sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat 2 huruf b Permendikbudristek 30/2021.
Pasal ini menyatakan bahwa kekerasan seksual di antaranya meliputi memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja tanpa persetujuan Korban. Yaqut mengatakan, tindakan tersebut tidak masuk dalam kategori eksibisionisme dan bukan tindakan kekerasan seksual yang diatur dalam pasal 5 ayat 2 huruf b jika terdapat persetujuan dari pihak lain. Tindakan ini, kata Menag, bisa jadi adalah suatu pertunjukan seks.
"Apakah Permendikbudristek yang normanya memuat consent (persetujuan) tersebut serta-merta dapat ditafsirkan melegalkan striptease di dalam kampus? Penafsiran semacam itu tentu terasa aneh bukan," ujarnya kepada Republika.co.id, Rabu (9/11)..
Yaqut mengingatkan, Permendikbudristek tersebut bukan satu-satunya regulasi. Karena masih banyak lagi regulasi lain yang mengatur berbagai hal secara lebih spesifik. Ada berbagai ketentuan pidana di dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
"Kita memiliki KUHP dan ketentuan pidana di dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Juga segala macam kode etik, belum lagi norma yang hidup dalam masyarakat (living norma). Striptease, apalagi di dalam kampus, tentu sudah ada larangannya dalam norma hukum dan norma dalam masyarakat kita," jelasnya.