Senin 08 Nov 2021 10:40 WIB

Test PCR, GSI, dan Keterkaitan Luhut

Dalam kasus GSI ini, saya merasa framingnya dan tuduhannya terlalu gila.

Tenda darurat yang terpaksa dipasang, pada saat membeludaknya pasien COvid-19, beberapa bulan yang lalu. (Foto ilustrasi)
Foto:

Lalu ada pertanyaan kalau memang ingin membantu penanganan pandemi, mengapa harus mendirikan GSI yang berbentuk PT yang orientasinya mencari keuntungan? Kenapa tidak yayasan saja?

Saya jelaskan bahwa bantuan yang sifatnya donasi sudah dilakukan Pak Luhut dan teman-temannya melalui donasi alat PCR, ekstraksi RNA, reagen dan beberapa alat lab lainnya ke fakultas kedokteran. Namun, karena sifatnya donasi, kita hanya bisa membantu sesuai dengan dana donasi yang dikumpulkan. Setelah itu harus mandiri.

GSI, sesuai Namanya Genomik Solidaritas Indonesia (GSI), didirikan dengan semangat solidaritas untuk membantu penanganan pandemic. Sifatnya lebih social entrepreneurship. Jadi keuntungan yang diperoleh GSI digunakan kembali untuk tujuan social, seperti memberikan PCR gratis untuk yang tidak mampu, nakes, ataupun orang2 yang di wisma atlit. Mereka bahkan juga membantu Kemenkes untuk melakukan genome sequencing secara gratis untuk mendeteksi varian delta. Model ini lebih sustainable karena tidak mengandalkan donasi.

Adanya Pak Luhut di GSI menimbulkan potensi conflict of interest karena Pak Luhut adalah Koordinator PPKM Jawa Bali?. Luhut ditunjuk koordinator PPKM Jawa Bali pada Juli 2020, jauh setelah pendirian GSI. Alasan penggunaan PCR untuk penumpang pesawat juga diberlakukan  karena peningkatan resiko kasus. Lalu, pada bulan September ketika trend kasus mulai menurun diiringi dengan pelaksanaan prokes yang baik, kami juga mengusulkan menurunkan syarat untuk penumpang pesawat dari PCR menjadi antigen asalkan mereka sudah 2x vaksin. Kalau memang Luhut ingin menguntungkan GSI, buat apa syarat tersebut diubah? Sebagai tambahan, di kantor kami, biasanya PCR atau antigen dilakukan oleh Medistra, RS Pertamina, RS Bunda, dan SpeedLab. Tidak pernah GSI.

Di dalam perjanjian pemegang saham GSI, ada ketentuan bahwa 51% dari keuntungan harus digunakan kembali untuk tujuan sosial. Oleh karena itu, sampai detik ini tidak ada pembagian keuntungan seperti dividen kepada pemegang saham. Hasil laba yang lain digunakan untuk melakukan reinvestasi terhadap peralatan atau kelengkapan lab yang lain (salah satunya adalah untuk melakukan genome sequencing). Perlu diketahui, ketika diawal operasi GSI ini menggunakan fasilitas tanah dan bangunan secara gratis yang diberikan oleh salah satu pemegang saham.  

Memang saya akui saya kurang hati-hati dalam mengingatkan Pak Luhut terkait dengan saham GSI sehingga muncul potensi conflict of interest ini buat pak Luhut (jujur saya sendiri juga lupa kalau Toba Sejahtera berpartisipasi di GSI). Tapi memang kondisi pada saat GSI didirikan saat itu membutuhkan keputusan yang cepat terkait peningkatan kapasitas test PCR ini. Kemudian, ketika Pak Luhut menjadi koordinator PPKM Jawa Bali, setiap keputusan yang diambil didasarkan kepada usulan kami atas analisis data dan situasi, sehingga kondisi Covid19 di Jawa Bali bisa lebih baik. Tidak ada sedikitpun keraguan dalam hati saya terkait hal ini. Tidak ada satupun keputusan yang diambil oleh Pak Luhut yang kami usulkan, karena mengedepankan kepentingan GSI, termasuk usulan mengenai PCR untuk penumpang pesawat.

Baca juga :Vaksin Sinovac Diklaim Aman untuk Bayi dan Anak

Dalam kasus GSI ini, saya merasa framingnya dan tuduhannya terlalu gila. Sehingga saya perlu menuliskan cerita dari sisi kami atas apa yang terjadi.  Dampak yang disebabkan oleh Varian Delta pada bulan Juli adalah pengalaman yang menyakitkan buat kami, dan saya yakin juga buat bangsa ini.  Kami menerima WA dari saudara, kerabat, rumah sakit dan teman  yang meminta tolong untuk dicarikan kamar rumah sakit atau oksigen, hanya kemudian mendapatkan kabar bahwa pasien yang bersangkutan harus meninggal karena tidak mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan. Sangat menyakitkan buat saya pribadi.

Jadi, ketika kami melihat ada resiko peningkatan kasus, kami ingin ada langkah preventif, bukan reaktif seperti yang dilakukan sebelumnya. Karena kalau ada peningkatan kasus dan harus ada pengetatan macam PPKM Darurat, biayanya sangat besar. Hasil hitungan kami, biaya langsung untuk perekonomian setiap 1 minggu dilakukan PPKM Darurat, adalah sekitar Rp 5.2 trilyun. Itu belum termasuk korban jiwa yang tidak bisa dihitung secara moneter.

Terkait harga PCR, menurut saya tidak bisa dibandingkan situasi saat ini dan situasi pada awal-awal pandemi, bagaimana susahnya mencari alat PCR, ekstraksi RNA, reagen, sampai harus rebutan dengan negara lain. Saat ini kondisi suplainya jauh lebih baik, sehingga ketersediaan alat dan reagen lebih banyak dan lebih murah. Selain itu, terkait harga PCR, hal tersebut bukan wewenang Pak Luhut dalam memutuskan. Evaluasi dilakukan secara berkala oleh Kemenkes dan BPKP. Semuanya melalui proses pemeriksaan di BPKP untuk kemudian memberikan masukan kepada Kemenkes lalu kemudian diputuskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement