REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua GP Ansor Rahmat Hidayat Pulungan menyindir pihak yang melaporkan Menteri BUMN Erick Thohir ke KPK terkait tuduhan terlibat bisnis alat tes PCR lewat PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI). Menurut Rahmat, tuduhan itu dilandasi rasa iri atas capaian Erick Thohir.
Rahmat berkata, setiap warga negara Indonesia berhak melaporkan dugaan korupsi ke KPK sebagai bentuk pengawasan bersama. Sehingga wajar bila ada pihak yang melaporkan salah satu pejabat ke KPK. Namun ia menyinggung maksud dan tujuan pelaporan terhadap Erick kali ini.
"Seiring raihan prestasi yang didapat seseorang pasti selalu ada saja yang iri. Pak Erick tentu kita lihat sendiri perjuangannya untuk rakyat. Saya yakin para menteri dan pimpinan lembaga tinggi negara membantu rakyat saat musibah Covid-19 ini," kata Rahmat kepada Republika.co.id, Ahad (7/11).
Dalam analisanya, Rahmat mengungkapkan topik yang dipermasalahkan mengenai tes PCR adalah harga dan PT GSI. Padahal ia menekankan harga tes PCR menjadi wewenang Kementerian Kesehatan.
"Kalau mengenai GSI itu sejak awal inisiatif dan kolaboratif banyak pihak dan semangatnya gerakan sosial-kemanusiaan demi membantu masyarakat. Ini sudah dijelaskan Pak Erick (Thohir) ke publik," ujar Rahmat.
Baca juga : Diterpa Fitnah, Erick Terus Bergerak untuk Indonesia
Selain itu, Rahmat mengajak publik untuk tak termakan provokasi dugaan pejabat terlibat bisnis tes PCR. Ia juga berharap Erick Thohir tetap fokus bekerja membantu rakyat.
"Saya ingatkan ini merujuk istilah orang kampung itu yang namanya emas mau di manapun tetap emas, kalau buang di sungai tetap diperebutkan," ucap Rahmat.
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan, isu keterlibatan Menteri BUMN Erick Thohir dalam penyediaan jasa tes Covid-19, sangat tendensius. Dia mengatakan, data tes PCR di Indonesia mencapai 28,4 juta, sedangkan perusahaan penyedia jasa tes Covid-19, PT GSI hanya melakukan tes PCR sebanyak 700 ribu.
"Jadi bisa dikatakan hanya 2,5 persen dari total tes PCR yang sudah dilakukan di Indonesia, 97,5 persen lainnya dilakukan pihak lain. Jadi kalau dikatakan bermain, kan lucu ya, 2,5 persen gitu. Kalau mencapai 30 persen, 50 persen itu oke lah bisa dikatakan bahwa GSI ini ada bermain-main, tapi hanya 2,5 persen," ujar Arya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (2/11).