Senin 08 Nov 2021 10:40 WIB

Test PCR, GSI, dan Keterkaitan Luhut

Dalam kasus GSI ini, saya merasa framingnya dan tuduhannya terlalu gila.

Tenda darurat yang terpaksa dipasang, pada saat membeludaknya pasien COvid-19, beberapa bulan yang lalu. (Foto ilustrasi)
Foto:

Setelah alat datang, bukan berarti barang bisa langsung digunakan, karena kita harus menunggu reagen PCR-nya datang. Awal Mei reagennya kemudian baru datang. Masalah belum selesai, para laboratorium itu kemudian juga menyampaikan bahwa mereka butuh VTM (Viral Transport Medium). Saya tanya ke mereka barang apakah itu?. Mereka menjelaskan bahwa VTM ini adalah alat untuk menampung hasil swab yang akan mendeaktifkan virusnya sebelum kemudian bisa dilakukan ekstraksi RNA. Rupanya banyak sekali perintilan material-material yang dibutuhkan untuk melakukan test PCR ini, bukan hanya reagen saja. Dimana klo salah satu barang gak ada, test PCR tidak bisa dilakukan.

Long story short berbagai perintilan barang itu bisa kita dapatkan dan lab-lab di berbagai fakultas kedokteran itu bisa mulai melakukan test. Namun karena proses ekstraksinya masih manual, masing-masing lab paling hanya bisa melakukan 100-200 test per hari. Jauh dari target yang kita minta yaitu 700-1000 test perhari.

Masalah kemudian muncul karena alat ekstraksi RNA yang kita pesan dari Roche tidak bisa didapatkan. Kalau tidak salah karena suplai barangnya sangat terbatas dan diperebutkan oleh negara-negara lain juga. Kita waktu itu memutuskan untuk cari merek lain. Setelah tanya-tanya dari masing-masing lab, dapatlah rekomendasi merek Qiagen dari Jerman. Kita pesan barangnya, namun ternyata mereka tidak bisa memenuhi reagennya. Alat ekstraksi RNA ini memang menggunakan closed system, artinya hanya bisa digunakan dengan reagen yang diproduksi mereka sendiri.

Selama beberapa bulan, lab-lab itu masih menggunakan ekstraksi RNA secara manual untuk test PCRnya. Saya bersama beberapa teman akhirnya putar otak ke Tiongkok, kita carilah alat ekstraksi RNA dan reagennya. Setelah tanya sana sini, dapatlah satu perusahaan yang merupakan afiliasi salah satu universitas di sana. Jadi semacam badan usahanya yang bergerak dibidang bioteknologi. Alat ekstraksi RNAnya harganya lebih murah, kira-kira 1/10 dari harga alat ekstraksi yang diproduksi Qiagen, meskipun kapasitasnya 1/3. Begitu juga harga reagen untuk ekstraksi RNA nya. Yang lebih menarik, mereka juga memproduksi reagen untuk PCR yang bisa digunakan baik dari LC 96 dan LC480 (kedua alat ini adalah open system). Dengan suplai dari Tiongkok ini, kita bisa memberikan donasi lebih banyak alat PCR dan ekstraksi RNA kepada lab-lab kampus itu. Awal Juni, barang-barang ini mulai datang ke Indonesia.

Baca juga : PP Pemuda Muhammadiyah: Hindari Politisasi Tes PCR

Sebelum memutuskan beli, kami meminta FKUI untuk melakukan pengujian terhadap barang-barang ini. Hasilnya di luar dugaan kami cukup baik. Alat ekstraksi RNA nya mudah digunakan, dan bisa melakukan ekstraksi dalam waktu 1 jam. Reagen PCRnya pun ternyata memiliki sensitivitas yang lebih baik dibandingkan yang beredar dipasaran pada waktu itu.

Ketika diawal, kami sampaikan kepada lab-lab ini bahwa kita hanya akan mensupport mereka dengan alat PCR dan Alat Ekstraksi RNA beserta reagen-reagennya untuk 10 ribu test buat masing-masing laboratorium. Ini berdasarkan kecukupan donasi yang Luhut dan teman-temannya sumbangkan. Namun, karena kita menemukan suplai baru dari Tiongkok yang saya sebutkan di atas, kita bisa mensupport untuk lebih banyak reagen. Pak Luhut kemudian juga menerima telp dari teman-teman beliau di Tiongkok yang mau menyumbang untuk penanganan Covid19 di Indonesia, sehingga kita bisa memperoleh lebih banyak reagen. Satu lab saat itu saya kira bisa menerima 30-50 ribu reagen PCR dan ekstraksi RNA untuk melakukan test ini. Setelahnya, kami minta lab-lab tersebut harus bisa mandiri. Kita tidak bisa mensupport seterusnya karena donasi yang terbatas.

Mengapa sih saya cerita panjang lebar seperti di atas? Pertama, saya ingin menceritakan kepada teman-teman bagaimana susahnya situasi dan keterbatasan test PCR saat itu. Kedua, banyak pihak yang bergotong royong untuk membantu pemerintah meningkatkan kapasitas PCR saat itu.

Kementerian BUMN, melalui perintah Pak Erick dan Pak Budi Sadikin, membeli cukup banyak alat PCR saat itu. Lalu Pak Luhut dan teman-temannya juga memberikan donasi yang nilainya cukup besar untuk meningkatkan kapasitas PCR di banyak fakultas kedokteran di Indonesia, dan saya yakin banyak pihak lain yang juga berusaha keras untuk membantu dengan berbagai cara supaya kapasitas test covid19 melalui PCR di Indonesia pada waktu itu bisa ditingkatkan. Kami tidak ada memikirkan untung-rugi waktu itu.

Dalam perjalanan kami mencari alat PCR untuk donasi ke para laboratorium di kampus-kampus saat itu, salah satu teman Pak Luhut mengajak untuk ikut berpartisipasi dalam pendirian lab test covid19 yang memiliki kapasitas tinggi (5000 test/hari) dan bisa melakukan genome sequencing (belakangan ini kemudian sangat berguna untuk mendeteksi varian delta dan layanan ini diberikan gratis kepada Kemenkes untuk mendeteksi varian baru). Usul saya ke Pak Luhut, kita ikut berpartisipasi untuk pendirian lab ini. Maka tanpa pikir panjang, Pak Luhut menyampaikan ke saya, untuk membantu mereka ini. Akhirnya melalui Toba Sejahtera (yang memiliki dana untuk kebutuhan ini), Pak Luhut ikut mendukung pendirian laboratorium tersebut. Maka lahirlah GSI, setelah itu, kami tidak monitor lagi mengenai GSI ini.

Jujur ketika Jodi (Jubir Pak Luhut) mengirimkan WA pertanyaan dari Tempo mengenai keterkaitan GSI dan Pak Luhut, saya laporkan mengenai hal ini ke Pak Luhut.  Beliau sempat tanya ke saya, “emangnya toba sejahtera punya saham di GSI, To?”. Beliau tidak ingat rupanya. Saya menjelaskan kronologis yang saya ingat waktu itu. Pak Luhut lalu meminta saya dan Jodi menjelaskan kepada Tempo sesuai dengan fakta yang ada.

Tuduhan dan Framing Gila

Dan kemudian terjadilah kehebohan setelah liputan Tempo itu keluar. Tuduhannya adalah mengenai kebijakan kewajiban PCR bagi pesawat yang diberlakukan beberapa Minggu yang lalu hanya menguntungkan Pak Luhut dan Pak Erick secara pribadi. Izinkan saya menjelaskan dari perspektif saya:

Ada pertanyaan mengapa kewajiban test PCR ini diberlakukan kepada penumpang pesawat ditengah kasus yang menurun ? Kebijakan ini saya dan teman-teman di tim usulkan berdasarkan data yang menunjukkan ada peningkatan resiko penularan. Nah 1-2 minggu sebelum kebijakan PCR untuk penumpang pesawat ini diberlakukan, kita melihat ada peningkatan resiko tersebut. Indikator mobilitas yang kami gunakan menunjukkan peningkatan yang signifikan. Contohnya di Bali, data mobilitas minggu ketiga Oktober 2021 menunjukkan level yang sama dengan liburan Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2020. Lalu, hasil pengecekan tim yang kami kirim, terjadi penurunan disiplin protokol kesehatan yang luar biasa. Peduli Lindungi hanya sebagai pajangan, terutama di tempat-tempat wisata dan bar. Bahkan salah satu tim saya berhasil memfoto pasangan yang bebas berciuman di dalam salah satu bar/café di Bandung.

Sebagai background, pada awal Juli 2021 ketika Pak Luhut diperintahkan untuk menangani peningkatan kasus di Jawa Bali, Pak Luhut meminta kami mendesign metode penanganan yang paten. Saya dan beberapa teman-teman kemudian mengontak Prospera untuk membantu kami membuat leading indicator untuk memonitor perkembangan kasus. Ada 3 indikator yang kita gabungkan menjadi indeks komposit, yaitu Google Traffic, Facebook Mobility dan NASA Nightlight Index. Intinya 3 indikator tersebut mencerminkan aktivitas masyarakat. Kalau aktivitas masyarakat masih tinggi, maka penambahan kasus tidak akan menurun. Hasil pengujian secara statistic, butuh waktu 14-21 hari untuk penambahan kasus bisa menurun sejak indeks komposit turun.

Kita harus belajar dari negara-negara lain yang mengalami peningkatan kasus yang luar biasa akibat varian Delta, akibat relaksasi aktivitas dan protokol kesehatan karena merasa tingkat vaksinasi dosis kedua sudah diatas 60%. Contohnya seperti Singapura, Jerman, Inggris dan beberapa negara lain.  Lalu bagaimana dengan Indonesia? Tingkat vaksinasi dosis 2 Indonesia saat ini baru sekitar 36%, dan kita sudah melakukan relaksasi aktivitas masyarakat secara luas. Mengapa kita berani melakukan relaksasi ini? Karena kita imbangi dengan protokol kesehatan yang ketat dan testing serta tracing yang tinggi, serta relaksasi kita lakukan secara gradual sejak agustus sampai dengan saat ini. Namun, ketika saat ini kita melihat protokol kesehatan sudah menurun signifikan tentu saja kami melihat ada peningkatan resiko kenaikan kasus.

Alasan-alasan tersebut diatas sebenarnya sudah saya dan Jodi berikan ke Tempo baik dalam bentuk Ms Word maupun Powerpoint, lengkap beserta chart dan riset ilmiah. Namun entah mengapa Tempo tidak menampilkan dalam liputannya.

Lalu ada pertanyaan kalau memang ingin membantu penanganan pandemi, mengapa harus mendirikan GSI yang berbentuk PT yang orientasinya mencari keuntungan? Kenapa tidak yayasan saja?

Saya jelaskan bahwa bantuan yang sifatnya donasi.....

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement