Ahad 31 Oct 2021 16:22 WIB

MA Bikin Koruptor Punya Hak Remisi Seperti Napi Biasa

Pilihan MA mencabut PP no 99/2012 janggal dalam perspektif pemberantasan korupsi.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Joko Sadewo
Sejumlah aktivis menolak remisi untuk koruptor dan bandar narkoba (ilustrasi).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Sejumlah aktivis menolak remisi untuk koruptor dan bandar narkoba (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah Mahkamah Agung yang mengabulkan Judicial Review dengan mencabut Peraturan Pemerintah (PP) nomor 99 tahun 2012, dianggap berpotensi semakin melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Sebab putusan MA ini, PP nomor 99 tahun 2012 yang telah direvisi sebelumnya ini dikembalikan kepada PP nomor 32 tahun 1999.

Dalam PP nomor 32 tahun 1999, sebelumnya tidak diatur perbedaan pemberian remisi, bagi narapidana tindak pidana khusus, seperti Koruptor, Teroris dan Narkoba. Maka aturan remisi napi Koruptor, Teroris dan Narkoba akan akan sama dengan napi pidana lain.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menilai putusan MA dalam kasus PP nomor 99 tahun 2012 ini patut dipertanyakan. Karena putusan MA di aturan yang sama sebelumnya menegaskan tidak ada permasalahan pembatasan hak, dan di dunia dikenal dengan konsep pembatasan hak terhadap napi khusus, terutama kejahatan-kejahatan luar biasa seperti teroris, korupsi dan narkoba.

"Oleh karena itu, menurut saya keputusan MA ini sangat janggal, tidak sehat bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Karena tidak lagi ada syarat-syarat tertentu untuk menerima remisi, padahal PP 99 ini tidak membatasi mereka para napi khusus ini mendapatkan haknya, sepanjang mereka menjalankan syarat yang ada," ujar Feri kepada wartawan, Ahad (31/10).

Syarat yang dimintakan agar napi khusus ini bisa mendapatkan haknya, seperti menjadi Justice Colaborator (JC). Pilihan menjadi JC itu, menurut Feri sangat penting untuk mengungkap berbagai tindak pidana khusus, termasuk tindak pidana korupsi. Dimana napi yang akan menjadi JC bisa membantu mengungkap seluruh kasus korupsi yang masih belum terkuak di pemeriksaan dan di persidangan.

Apabila ada terpidana korupsi yang tidak mau menjadi JC, sehingga berpotensi kasus korupsi tidak terpecahkan. Maka Feri melihat dengan adanya konsep JC ini, negara, dalam hal ini aparat penegak hukum akan terbantukan dalam pengungkapan seluruh kasus korupsi yang sebenarnya terjadi. "Nah pilihan MA mencabut PP ini jelas janggal dalam perspektif pemberantasan korupsi," katanya.

Karena itu, Feri memandang perlu peran Hakim yang benar-benar memahami gagasan pemberantasan korupsi dengan baik atau Hakim yang punya komitmen dalam pemberantasan korupsi, sehingga bisa melihat korupsi sebagai tindakan extra ordinary. Apabila langkah MA ini tidak sejalan dengan pemberantasan pidana luar biasa tadi, sedangkan sanksi yang diberikan juga tidak menunjukkan extra ordinary kejahatan tersebut, maka ini semakin kontraproduktif dalam penegakkan hukum.

"Semestinya menghadapi kasus tindak pidana extra ordinary seperti korupsi, narkoba dan terorisme, perlu pula tindakan tindakan extra ordinary tersebut," tegas Feri Amsari.

Dalam putusan MA terbaru, terkait Judicial Reciew mencabut PP nomor 99 tahun 2012. Padahal dalam PP nomor 99 tahun 2012, pemerintah memberikan syarat remisi khusus pada narapidana korupsi, teroris dan narkoba di antaranya:

1. Narapidana berstatus sebagai justice collaborator.

2. Telah membayar lunas denda dan uang pengganti.

3. Berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6 bulan.

4. Diberikan pada narapidana dengan pidana paling singkat 5 tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement