Ahad 31 Oct 2021 11:27 WIB

ICW: Pemberantasan Korupsi Berada di Titik Nadir

Pembatalan PP Nomor 99 Tahun 2012 membuat koruptor lebih mudah mendapatkan remisi.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Ilham Tirta
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana jelaskan
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana jelaskan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pemberantasan korupsi kembali berada di titik nadir. Hal tersebut menyusul dicabutnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan oleh Mahkamah Agung (MA).

"Dari sini, masyarakat dapat melihat bahwa lembaga kekuasaan kehakiman tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana di Jakarta, Ahad (31/10).

Pembatalan PP Nomor 99 Tahun 2012 membuat koruptor akan lebih mudah mendapatkan remisi. ICW bersama aktivis anti korupsi lainnya berpendapat putusan MA ini akan berdampak pada semakin mudahnya narapidana korupsi untuk mendapatkan pengurangan hukuman di masa mendatang.

Kurnia menilai putusan MA ini semakin mengkhawatirkan. Terlebih pertimbangan-pertimbangan majelis hakim juga sejalan dengan niat buruk pemerintah untuk memperlonggar pemberian remisi kepada para koruptor.

ICW mencatat, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, setidaknya Kementerian Hukum dan HAM telah melontarkan keinginan untuk merevisi PP 99/2012 sebanyak empat kali. Mulai dari tahun 2015, 2016, 2017, dan 2019 melalui Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan (RUU PAS). Tidak hanya itu, Menkumham juga pernah mengeluarkan SE Menkumham tahun 2013 yang pada intinya memberikan kemudahan bagi koruptor yang dipidana sebelum berlakunya PP Nomor 99 Tahun 2012.

"Maka dari itu, merujuk dari catatan-catatan di atas, ICW mendesak pemerintah dan DPR tidak memanfaatkan putusan MA dalam RUU PAS sebagai dasar untuk mempermudah pengurangan hukuman para koruptor," kata Kurnia.

MA mencabut dan membatalkan PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan fungsi pemidanaan tidak lagi sekadar memenjarakan pelaku agar jera. Namun, pemidanaan sebagai usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model restorative justice.

Pandangan MA juga didasarkan pada pendapat narapidana bukan hanya objek melainkan juga subjek yang dapat melakukan kekhilafan yang bisa dikenakan pidana. Atas dasar itu, mereka tidak harus diberantas, namun yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum.

"Bahwa berdasarkan filosofi pemasyarakatan tersebut, maka rumusan norma yang terdapat didalam peraturan pelaksanaan UU No 12 Tahun 1995 sebagai aturan teknis pelaksana harus mempunyai semangat yang sebangun dengan filosofi pemasyarakatan yang memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice," tulis pertimbangan majelis.

Dengan pertimbangan tersebut maka hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali. Artinya, keputusan itu juga berlaku setara bagi semua warga binaan untuk mendapatkan haknya secara sama, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan.

Keputusan ini diketuk oleh Ketua Majelis Supandi yang beranggotakan Yodi Martono W dan Is Sudaryono. Sementara, pihak yang mengajukan uji materil ini adalah Subowo dan kawan-kawan. Mereka merupakan mantan kepala desa dan warga binaan yang sedang menjalani pidana penjara di Lapas Klas IA Sukamiskin Bandung.

Sebelumnya, PP Nomor 99 Tahun 2012 menyatakan pelaku tindak pidana korupsi, teror, dan narkoba bisa mendapatkan remisi. Namun remisi diberikan dengan syarat lebih ketat dibandingkan narapidana lainnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement