Selasa 26 Oct 2021 05:01 WIB

Peluru 2024 untuk Anies Baswedan

Upaya menggerus kepercayaan terhadap Anies terus digalang.

Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan.
Foto:

Oleh : Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika

Sejauh ini, parpol yang pernah secara terbuka mengungkap keinginannya mengusung Anies adalah Nasdem. Dengan berbagai cara, bisa saja ini akan serius direalisasikan. Realita tidak adanya kader parpol yang ‘layak’ dicapreskan mengharuskan mereka mencari tokoh untuk menaikkan pamor partai di pemilihan legislatif, termasuk Nasdem. Cara ini sebenarnya tidak baru, tetapi sangat mungkin masih efektif. Sehingga, baik tokoh maupun parpolnya, sama-sama diuntungkan.

Partai pimpinan Surya Paloh itu bisa saja memberi Anies gelar kehormatan kader Nasdem, atau bahkan jabatan sangat penting di DPP, misalnya. Jeda dua tahun sebelum pilpres pascalengser sebagai gubernur DKI adalah momen krusial. Karenanya, Anies akan tetap butuh panggung untuk terus tampil di depan publik.

Anies juga sebelumnya telah bilang bahwa ia akan keliling Indonesia setelah selesai tidak menjabat sebagai gubernur. Di Pilkada DKI, kelilingnya Anies di Ibu Kota dengan bertemu masyarakat selalu dijadikan legitimasi program-programnya dalam kampanye. Sekarang ia mau keliling Indonesia. Ini isyarat sangat jelas. Pola yang sama.

Di sisi lain, Nasdem jelas tak bisa mengusung sendirian capres-cawapres. Butuh koalisi politik. Di sinilah ada tawar menawar. Melihat rekam jejak Anies, rasanya ia tak akan mau menjadi nomor dua. Terakhir, pilkada DKI menjadi buktinya. Meski tak berparpol, ia menjadikan elektabilitasnya sebagai posisi tawar.

Artinya, kemungkinan besar orang keduanya adalah dari petinggi parpol. Karena jika capres dan cawapres tak berparpol, resistensi di partai pengusung akan besar, bahkan bisa buyar tidak ketemu. Setidaknya ada tiga ketua umum parpol yang bisa saja bersanding dengan Anies. Ada Airlangga Hartarto Golkar, Muhaimin Iskandar PKB, dan AHY Demokrat.

Jika Anies-Airlangga, koalisi Nasdem dengan Golkar sudah cukup. Sementara Anies-Muhaimin juga sudah cukup karena melebihi 20 persen kursi di DPR. Jika skenario Anies-AHY, Nasdem dan Demokrat mengumpulkan 113 kursi alias belum menggenapi syarat 115 kursi atau 20 persen dari total 575 kursi DPR. Butuh satu lagi parpol, bisa PAN atau PPP, dua parpol terbawah di DPR. Ini akan panjang jika diteruskan dengan kalkulasi untung rugi, ceruk pemilih, dan variabel-variabel lain terkait elektoral.

Sekali lagi, semua itu kemungkinan. Sangat mungkin pula dinamika akan mengubah semuanya. Kombinasi kemungkinan amat banyak. Belum lagi jika Prabowo Subianto nekat kembali maju di 2024, maka peta dan konstelasi akan berubah. Terlebih jika menteri pertahanan itu akan mengambil jalan beda dengan PDIP.

Baca juga : Penyebab Kapolres Nunukan Pukuli Anak Buahnya

Tetapi yang terpenting, masyarakat melihat dinamika pencapresan sejak prosesnya dengan riang. Satu ungkapan klise yang mesti terus diingat publik adalah tidak adanya kawan dan lawan yang abadi dalam politik. Artinya, kita jangan sampai berantem karena agitasi dan propaganda para politisi.

Keterbelahan yang sudah terjadi sejak 2014, berlanjut di 2017, dan kian menganga di 2019 harus disudahi. Kita musti tutup telinga dengan isu-isu primordial yang terus diamplifikasi para pendengung (buzzer). Kita pun tak perlu terprovokasi, apalagi saling membenci.

Kita, rakyat, mestinya telah belajar dari yang pernah ada. Mereka, yang di atas, kini bisa sangat mesra setelah sebelumnya mengajak kita membantunya ‘bertengkar’. Tapi apa yang kita dapat? Tak lebih dari memburuknya hubungan kita dengan saudara, keluarga, teman, dan tetangga. Semoga tidak terulang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement