REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Polda Sulawesi Selatan mempersilahkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mengajukan bukti baru terkait kasus rudapaksa atau dugaan pencabulan dan pemerkosaan terhadap ketiga anak oleh ayahnya SA di Kabupaten Luwu Timur. Pada 2019, polisi telah menghentikan penyelidikan kasus yang viral di media sosial tersebut.
"Karena LBH juga ada dalam tim pelapor, maka kami terbuka manakala keluarga korban ingin membuka kasus ini, harus ada bukti (baru) yang diajukan kepada penyidik," kata Kabid Humas Polda Sulsel Kombes E Zulpan kepada wartawan di Makassar, Jumat (9/10).
Polda Sulsel saat ini sudah terbuka dengan memberikan ruang kepada LBH sebagai pendamping hukum pelapor untuk mengajukan bukti baru atas kasus tersebut agar bisa ditindaklanjuti. "Kami terbuka sekarang, apabila korban dan LBH punya bukti baru silahkan berikan kepada kami, maka kami akan tindaklanjuti," katanya.
Ia menjelaskan untuk membuka kasus melalui gugatan, LBH harus menyertakan bukti baru. Namun, apabila LBH menilai Polri tidak profesional, ia mengatakan, LBH dapat mengambil langkah hukum ada dalam aturan Polri, yakni mempraperadilankan penyidiknya.
Polda Sulsel juga mempersilahkan apabila pihak keluarga yang tidak menerima atas putusan dikeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) Polres Luwu Timur pada 2019 lalu, bisa mengajukan langkah hukum lain. "Apabila keluarga korban ini tidak menerima, bisa lakukan praperadilan," ulas perwira menengah Polri itu memberikan opsi.
Kendati peluang praperadilan itu terbuka karena menganggap penyelidikan itu tidak benar, ia mengatakan, penyidik juga bisa menuntut balik bilamana kasus ini tidak terbukti. Saat ditanyakan apakah bisa digunakan visum pembanding dari rumah sakit lain untuk dijadikan novum atau alat bukti baru, dia mengatakan, proses visum hanya bisa diterbitkan oleh kepolisian.
Artinya, surat kepolisian kepada rumah sakit tertentu, seusai dengan prosedur hukum yang berlaku. "Visum ini siapa, visum dalam proses pidana. Katakan di cabuli harus dari Polri yang menerbitkan surat permintaan visum itu kepada rumah sakit," katanya.
Zulpan mengatakan, sudah ada dua hasil visum kasus dugaan rudapaksa terhadap tiga anak di Lutim. Pertama di Puskesmas Malili, tetapi tidak mempercayai.
Kemudian, dilaksanakan kedua kalinya di Rumah Sakit Bhayangkara Makassar. Hasil kedua visum itu sama, tidak ada tanda kerusakan organ seksual pada anak.
"Bagaimana kalau tidak ada hasil visum, polisi mau lakukan pemeriksaan apa kepada bapaknya, tidak bisa. Bahkan hasil visumnya (kerusakan organ seksual) tidak ada, ini harus dipahami, jangan termakan hoaks," katanya.
Zulpan menyampaikan, apa yang beredar di media sosial maupun dikutip media arus utama terkait artikel yang beredar tidak benar alias hoaks. "Jelas hoaks donk, ini judulnya anak saya diperkosa, padahal ini tidak diperkosa bahkan dicabuli pun tidak, bagaimana dia bisa bilang diperkosa. Anak ini umur tiga tahun masa diperkosa, lima tahun, tujuh tahun. Bahasanya sudah keliru kan, dia tahu dari mana diperkosa," katanya.
Sebelumnya, SA melaporkan mantan suaminya RA terkait dugaan kekerasan seksual terhadap ketiga anak kandungnya masing-masing berinisial AL, MR, dan AL, pada 2019 lalu. Belakang, kasusnya dihentikan polisi karena tidak cukup bukti.
Kasus ini kembali mencuat pada Oktober 2021 karena viral di media sosial terkait proses SP3. Tim penasehat hukum dari LBH Makassar menilai, ada kejanggalan dalam penyelidikan pada kasus itu, sehingga harus dibuka kembali.
"Polisi punya kewenangan. Makanya, kami mendesak sekali lagi Polri menindak lanjuti apa menjadi temuan kami yang sudah dilaporkan di Polda Sulsel agar bisa dibuka kembali dan diambil alih untuk ditindaklanjuti, agar para anak-anak bisa mendapatkan keadilan," kata penasihat pelapor, Rezky Pratiwi dari LBH Makassar, kepada wartawan.