Rabu 29 Sep 2021 12:01 WIB

Pengamat Pertahanan: Mengapa Gatot Ragukan Penerusnya?

Ketika lainnya ragu-ragu, TNI AD dengan tegas tolak Nasakom yang dicetuskan Sukarno.

Tiga patung terdiri, Jenderal TNI AH Nasution, Mayjen Soeharto, dan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dihancurkan, dan kini tidak ada lagi di Museum Darma Bakti Kostrad, Jalan Medan Merdeka Timur, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat.
Foto: Dok Kostrad
Tiga patung terdiri, Jenderal TNI AH Nasution, Mayjen Soeharto, dan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dihancurkan, dan kini tidak ada lagi di Museum Darma Bakti Kostrad, Jalan Medan Merdeka Timur, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting menjelaskan, Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan benteng terakhir pengawal ideologi Pancasila. TNI menjadi salah satu profesi di Indonesia yang wajib memegang teguh ideologi Pancasila, bukan ideologi lainnya di luar Pancasila.

"Jadi, TNI sudah belajar banyak dari pengkhianatan ideologi lain, termasuk penghianatan PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tahun 1948 dan 1965. Sehingga TNI berusaha keras untuk tidak lagi disusupi ideologi lain, termasuk ideologi komunis," kata kandidat doktor ilmu politik Unas tersebut di Jakarta, Rabu (29/9).

Dia mengemukakan hal tersebut terkait pernyataan mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo yang mengindikasikan terjadinya penyusupan di tubuh TNI pada sebuah webinar bertema 'TNI vs PKI' di Jakarta pada Ahad (26/9) malam WIB. Gatot merespon soal hilangnya tiga patung penumpang PKI di Museum Darma Bakti Kostrad, Gambir, Jakarta Pusat. Patung itu adalah Jenderal AH Nasution, Mayjen Soeharto, dan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo.

"Jangankan komunis, ketika partai politik dan kelompok lainnya ragu-ragu menerima atau menolak ide Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis), (TNI) Angkatan Darat dengan tegas menolak Nasakom (yang dicetuskan Sukarno), karena bertentangan dengan Pancasila. Itu pula yang dimaksud politik TNI adalah politik negara," ungkap Ginting.  

Pimpinan TNI tahun 1962-1965, lanjut Ginting, terutama Menteri Koordinator (Menko) Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB) Jenderal TNI AH Nasution, serta Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani dan kawan-kawan (dkk) menolak tegas nasakomisasi, ideologi komunis serta rencana pembentukan Angkatan Kelima, yakni buruh tani dipersenjatai. Mereka kemudian menjadi korban kebiadaban PKI.

Baca juga : Pegawai KPK Bisa Ubah Wajah Penanganan Korupsi Polri

"Belajar dari pengalaman buruk penghianatan PKI tersebut, TNI tentu berusaha keras akan menolak ideologi lain. Sehingga menjadi tanda tanya besar jika ada yang meragukan ideologi prajurit TNI saat ini," kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas itu.

Ginting tidak sependapat dengan tudingan Gatot Nurmantyo. Alasannya, kata dia, ada dua hal. Pertama, para prajurit telah diikat dalam sumpah ketika dilantik menjadi prajurit TNI. Dalam sumpah dan janji pertamanya, dinyatakan akan setia kepada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Kedua, para prajurit TNI diikat dengan tujuh jalan hidupnya yang disebut Sapta Marga. Di marga pertama dan kedua, jelas-jelas disebutkan tentang Pancasila. Di marga pertama, sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila. Kemudian di marga kedua, sebagai patriot Indonesia, pendukung serta pembela ideologi negara yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah.

"Mengapa Gatot Nurmantyo tidak mengacu pada dua hal tersebut? Apalagi Gatot pernah menjadi Panglima Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat), KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat) dan Panglima TNI. Mengapa dia meragukan penerusnya di TNI saat ini?" kata Ginting.

Setelah peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965 (G30S)/PKI, menurut Ginting, dalam rekrutmen prajurit TNI, sangat ketat menyeleksi penilaian mental ideologi. Bahkan ditelusuri hingga garis keturunan orang tua dan kakek neneknya agar bersih diri dari ideologi lain, selain Pancasila.

Dia menjelaskan, para perwira tinggi aktif saat ini, umumnya justru lahir setelah peristiwa kelam tahun 1965. Dia mencontohkan Panglima Kostrad Letjen TNI Dudung Abdurachman, misalnya. Kelahiran November 1965 dan dilahirkan dari keluarga besar TNI di Kodam Siliwangi. Kodam Siliwangi dikenal sebagai Kodam yang sangat antikomunis sejak bernama Divisi Siliwangi dipimpin Kolonel (Infanteri) AH Nasution.

“Ingat, ujung tombak penumpasan pemberontakan PKI tahun 1948 di Madiun dan sekitarnya adalah Siliwangi,” kata Ginting yang malang melintang sebagai wartawan senior dalam liputan pertahanan keamanan negara itu.

Selain itu, Kostrad dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) menjadi ujung tombak penumpasan G30S/PKI tahun 1965. Cikal bakal RPKAD yang kini bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu juga berasal dari Kodam Siliwangi. Sejumlah batalyon Kostrad di Jawa Barat, umumnya juga berasal dari Kodam Siliwangi yang dialihkan kepada Kostrad.

Baca juga : Jokowi Ingatkan Kewajiban Menjaga Mangrove

Ginting menjelaskan, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo, seperti juga Letjen TNI Dudung Abdurachman merupakan kelahiran 1965, ketika TNI sedang menumpas pemberontakan PKI.  

Adapun Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dan KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa, tergolong masih bayi pada saat terjadinya pemberontakan PKI. Kedua perwira tinggi itu pun berasal dari keluarga besar TNI. Mereka lahir di mana tidak ada tempat bagi ideologi di luar Pancasila yang diterapkan sangat keras oleh pemerintahan Orde Baru.

"Cita-cita awal Orde Baru adalah menjalankan Pancasila secara murni dan konsekuen. Itu nilai baik yang diterapkan Orde Baru setelah belajar dari kegagalan Demokrasi Terpimpin atau Orde Lama," ungkap Ginting.

Dia menerangkan, Sapta Marga yang menjadi pedoman prajurit TNI dicetuskan pada 5 Oktober 1951, saat TNI merayakan ulang tahun yang keenam. Kode etik prajurit TNI tersebut, dimaksudkan untuk mencegah perpecahan di dalam tubuh TNI, terutama dari ideologi lain, selain Pancasila.

Menurut Ginting, para tokoh perumus Sapta Marga yang dipimpin Kolonel  Bambang Supeno merancang rumusan jalan hidup tentara itu dengan meminta masukan dari sejumlah para pemikir TNI serta para tokoh bangsa. Antara lain, Supomo, Ki Hajar Dewantara, Husen Djajadiningrat dan Mohammad Yamin.

"Pimpinan TNI saat itu menyadari bahwa ke depan TNI akan menghadapi tarikan ideologi lain di luar Pancasila. Jadi, saat ini janganlah TNI dituding-tuding lagi disusupi ideologi lain. Anggap saja sebuah peringatan, tapi jangan menuding, karena berhahaya sekali. Apalagi TNI adalah garda terakhir ideologi Pancasila," ucap Ginting.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement