REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG SELATAN -- Polres Tangerang Selatan (Tangsel) menangkap sebanyak sembilan orang dalam kasus tiga home industry narkotika. Penangkapan terhadap para tersangka dimulai dari wilayah Serpong, Kota Tangsel dan berkembang hingga ke Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel).
Polisi menyita barang bukti bahan baku tembakau sintetis seberat 2,6 kilogram (kg) dan tembakau sintetis siap dijual seberat 1,4 kg dari para tersangka. Barang bukti itu setara setara dengan uang Rp 2,7 miliar.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, home industry itu memproduksi 10 kg tembakau sintetis per bulan. Para pelaku memperoleh omzet sekitar Rp 100 juta setiap bulannya dengan sistem penjualan secara daring.
Kasat Reskrim Polres Tangsel, AKP Amantha Wijaya Kusuma menjelaskan, pengungkapan kasus itu berawal dari penangkapan dua orang tersangka berinisial GR dan MN di Jalan Raya Ciater, Serpong, Kota Tangsel pada Senin (16/9) sekira pukul 22.00 WIB. Dari kedua tersangka, polisi menyita tujuh paket narkotika jenis sintetis dengan berat 92,7 gram.
"Kronologinya jadi dari awalnya dua orang yang melakukan peredaran dan selanjutnya diedarkan ke atasnya lagi dan sampai yang membuat racikan bahan sintetis ini," kata Amantha dalam konferensi pers di Mapolres Tangsel, Jumat (10/9). Hadir pula Kapolres Tangsel AKBP Iman Imanuddi.
Dari keterangan kedua saksi, sambung dia, polisi mengamankan pemasok barang haram itu berinisial AS. Tersangka AS diringkus di Apartement Rouseville, Tangsel pada Sabtu (21/8) sekira pukul 06.00 WIB. Aparatemen itu dijadikan lokasi industri rumahan narkotika jenis sintetis maupun cairan (spray magic).
Dari tangan tersangka, kata Amantha, polisi menyita sejumlah barang bukti, di antaranya 14 paket narkotika jenis sintetis 228,6 gram dan bahan baku tembakau sintetis dengan bruto hampir 300 gram. Amantha menuturkan, dari hasil pemeriksaan, penyidik juga menangkap tersangka AN pada Selasa (24/8).
Status AD adalah reseller AS di wilayah Ciputat, Tangsel. AN mengaku memiliki rumah kontrakan di daerah Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang disewanya sebagai home industry pembuatan narkotika jenis sintetis.
"Selanjutnya dilakukan pengejaran terhadap tersangka FL dan AG yang diduga sebagai reseller dari tersangka AN yang menjual narkotika jenis sintetis di wilayah hukum Tangerang Selatan," jelas Amantha.
Dari tersangka AN, FL, dan AG, kata Amantha, polisi mengumpulkan barang bukti meliputi 16 paket narkotika jenis sintetis dengan jumlah keseluruhan 152,44 gram, dan peralatan untuk membuat narkotika jenis sintetis. Dia menyebut, berdasarkan keterangan AS, tersangka membeli narkotika secara online lewat media sosial Instagram.
Dia membeli kepada tiga tersangka lainnya, yaitu VC, PR, dan RH. Ketiganya kemudian ditangkap di Kota Makassar, dengan barang bukti 10 paket bahan baku narkotika sintetis seberat 2,2 kg.
"Para tersangka adalah pemasok bahan dasar serbuk warna kuning atau bibit (bahan baku tembakau sintetis) untuk membuat narkotika jenis sintetis, dimana peredarannya mencakup wilayah Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bandar Lampung, Medan, serta Papua," kata Amantha.
Dia melanjutkan, dalam upaya penjualan atau pengedaran barang hara, tersebut, para tersangka melakukan strategi dengan menyembunyikan narkotika ke dalam kemasan kopi. Langkah itu dilakukan agar mereka terhindar dari pantauan aparat.
"Modus yang digunakan tersangka untuk mengelabui petugas jasa pengiriman maupun petugas polisi adalah berkedok pengiriman berupa biji kopi dengan alamat dan identitas palsu serta nomor handphone pengirim fiktif," jelas Amantha.
Adapun, harga jual bahan bakunya atau bibit sebesar Rp 1 juta per gram. Sementara untuk tembakau sintetis yang sudah jadi dihargai Rp100 ribu per gramnya. "Kalau keuntungannya sementara ini bisa sampai Rp 100 juta per bulan," tutur Amantha.
Kesembilan pelaku dijerat Pasal 114 (2) subsider 112 (2) subsider 129 huruf (a) dan (c) subsider 132 ayat (1) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ancamannya hukuman pidana mati, seumur hidup atau pidana penjara paling singkat enam tahun dan paling lama 20 tahun.
Untuk jaringan tersebut, kata Amantha, polisi saat ini, masih melakukan pengejaran terhadap tersangka AP yang berstatus DPO serta tersangka lainnya yang diduga terlibat.