Selasa 07 Sep 2021 06:08 WIB

Arsul Sani: Amendemen UUD tidak Boleh untuk Jangka Pendek

Konstitusi bisa dilakukan perubahan jika tidak sesuai keperluan dan keinginan rakyat.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus Yulianto
Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR Arsul Sani mengatakan, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 harus diperlakukan sebagai ‘The Living Constitution’ atau konstitusi yang hidup. Artinya, konstitusi bisa dilakukan perubahan jika tidak sesuai keperluan dan keinginan rakyat.

"Itu boleh-boleh saja jika rakyat menghendaki dan memang jika berdampak baik," ujar Arsul di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (6/9).

"Yang tidak boleh adalah, proses amendemen itu dilakukan dan digunakan untuk kepentingan politik jangka pendek, apalagi kepentingan politik kelompok tertentu," sambungnya.

MPR, sebut Arsul, sangat berhati-hati dalam menyikapi wacana amendemen UUD. Di mana tujuannya untuk menghidupkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dengan payung hukum TAP MPR.  

"Di MPR periode lalu ada dinamika soal PPHN ini yaitu, ada tujuh fraksi plus kelompok DPD menyetujui PPHN dengan payung hukum TAP MPR dan ada tiga Fraksi menyetujui PPHN, namun dengan payung UU," ujar Arsul.

Amendemen sendiri hanya bisa terwujud melalui aturan dan prosedur yang ditetapkan Pasal 37 UUD 1945. Salah satunya pada ayat (1) berbunyi, Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

"Sampai saat ini usul tersebut belum ada. Saya sendiri berharap agar PPHN jika memang baik untuk rakyat Indonesia dan sebagai jalan memperlancar perjalanan bangsa ini menuju cita-cita Indonesia yang maju dan sejahtera, mesti mendapat dukungan," ujar Arsul.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement