REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva mengatakan, rekomendasi Komnas HAM maupun Ombudsman Republik Indonesia atas hasil pemeriksaan pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK itu sah-sah saja. Putusan MK berada di wilayah normatif dan tataran konstitusi yang membenarkan atas regulasi yang mengatur TWK tersebut konstitusional.
"Penafsirannya bisa diuji oleh beberapa lembaga yang mengawasi kebijakan publik, yang menyangkut hak-hak warga negara, maka analisis yang diberikan oleh Komnas HAM dan Ombudsman itu juga sah-sah saja, karena tatarannya praktis, yang bukan wilayah Mahkamah Konstitusi," jelas Hamdan dalam diskusi daring yang disiarkan kanal Youtube, Salam Radio Channel, Jumat (3/9).
Dalam putusan nomor 34/PUU-XIX/2021, MK menyatakan, proses alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) melalui TWK tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Hamdan menuturkan, MK tidak jauh membahas mengenai implementasi atau tataran praktis dari peraturan perundang-undangan yang dinyatakan konstitusional.
Menurut Hamdan, putusan MK tersebut memang menyisakan masalah yang terjadi dalam tataran praktis. Putusan MK itu tidak menjawab apakah peraturan KPK yang mengharuskan TWK berimplikasi pada status pegawai lolos/tidak lolos atau statusnya otomatis beralih menjadi ASN.
"Ini masih menimbulkan perdebatan, karena (MK) tatarannya yang masih normatif konstitusional," kata dia.
Menurut Hamdan, praktik pandangan MK selama ini tetap menegaskan bahwa substansi tidak boleh diabaikan dengan hal bersifat prosedur. Sebab, substansi yang merupakan hak asasi dasar menjadi hal pokok yang harus dilindungi.
Dia melanjutkan, hak-hak dasar yang harus dilindungi itu tidak boleh dibatasi prosedur. Sementara, pembatasan hak dan kebebasan untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain harus diatur melalui Undang-Undang sesuai amanat UUD 1945.
Hamdan mengaku, cenderung menyetujui alasan yang disampaikan oleh empat orang hakim konstitusi yang mengajukan alasan berbeda (concurring opinion), yaitu Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih, dalam putusan nomor 34/PUU-XIX/2021 tsrsebut. Menurutnya, pertimbangan keempat hakim telah menegaskan perlindungan hak harus diutamakan daripada prosedur yang justru menghilangkan perlindungan hak warga.
Hamdan menjelaskan, putusan MK bersifat normatif yang dapat ditafsirkan macam-macam dalam dunia praktik. Namun, dia menegaskan, ukurannya kembali kepada tanggung jawab negara yang harus memberikan, menjamin, dan melindungi hak asasi dari setiap warga negara, termasuk dalam proses peralihan status pegawai KPK menjadi ASN.
"Sebenarnya tafsiran terhadap putusan MK harus dipahami dalam konteks hak asasi secara umum itu, negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan hak asasi manusia," jelas Hamdan.