REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai kebijakan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil testimoni dari narapidana korupsi untuk kebutuhan pencegahan semakin menggambarkan keabsurdan lembaga antirasuah. "Bagi ICW, pihak yang paling tepat dimintai pendapat soal korupsi adalah korban, bukan justru pelaku," ujar Peneliti ICW , Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Jumat (27/8).
"Sebab dari sana masyarakat dapat melihat bagaimana praktik korupsi dapat merusak semua aspek kehidupan, mulai ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan lainnya," tambah Kurnia.
Namun, lanjut Kurnia, ICW tentu tidak lagi kaget melihat kebijakan aneh semacam itu. Sebab, hingga saat ini, KPK era Firli Bahuri, memang sudah tidak mampu untuk menjawab harapan masyarakat terkait pemberantasan korupsi.
"Lagi pula, kesesatan dalam merumuskan kebijakan bukan kali ini saja terjadi," tegas Kurnia.
Berdasarkan catatan ICW, ada sejumlah kebijakan kontroversi yang dihasilkan oleh KPK. Pertama, meminta kenaikan gaji dan pembelian mobil dinas di tengah situasi pandemi Covid-19.
Kedua, mengeluarkan kebijakan yang menggemukkan struktur birokrasi KPK melalui Peraturan Komisi Nomor 7 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK. Ketiga, menyelenggarakan Tes Wawasan Kebangsaan yang berujung pada pemecatan puluhan pegawai KPK.
Keempat, regulasi yang memperbolehkan pihak luar membiayai perjalanan dinas pegawai KPK. Kelima, mengumumkan tersangka jika kemudian telah dilakukan penahanan. Keenam, melakukan kegiatan sosialisasi pencegahan korupsi di lembaga pemasyarakatan.