REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Yudisial (KY) berharap Pemerintah dapat menjelaskan kajian yang mendasari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2021. Dengan PP ini, setiap hakim agung dan hakim konstitusi akan diberi honorarium per perkara yang diadilinya. Termasuk Ketua Mahkamah Agung (MA) dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
"Sebelum diterbitkannya PP No. 82 Tahun 2021 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi, kami meminta penjelasannya terlebih dulu. Terutama dengan batu uji, apakah penambahan insentif ini berkontribusi pada kualitas penyelesaian perkara di MA," kata Juru Bicara KY, Miko Ginting Susanto dalam keterangannya, Rabu (25/8).
KY berharap, sambung Miko, Pemerintah dan MA telah memikirkan mekanisme pengelolaan seiring dengan perubahan dari sisi insentif ini, guna memastikan apakah kebijakan ini memang tepat sasaran. Misalnya, dampak dari fasilitas ini terhadap upaya pengurangan arus perkara ke MA yang sudah sejak lama menjadi persoalan mendasar dalam meningkatkan konsistensi dan kualitas putusan.
"Agenda pembatasan perkara yang masuk ke MA (baik pada tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali) dan penguatan pengadilan-pengadilan di tingkat bawah seharusnya tetap diutamakan," ujar Miko.
Di sisi lain, KY melihat prioritas yang tidak kalah pentingnya untuk dipecahkan oleh Pemerintah dan MA, yaitu soal tunjangan dan kesejahteraan serta fasilitas kedinasan bagi hakim-hakim di tingkat pertama. "Merekalah yang selama ini menangani beban perkara signifikan dan berhadapan langsung dengan pihak-pihak berperkara," kata Miko.
Begitu juga dengan prioritas anggaran lain yang juga layak diutamakan sejalan dengan agenda pembaruan peradilan dan kebutuhan terhadap situasi negara terkini. Misalnya, dukungan anggaran yang memadai untuk peningkatan sarana dan prasarana persidangan demi mendukung efektivitas pelaksanaan sidang elektronik di masa pandemi.