REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pencegahan stunting adalah agenda besar pemerintah di bidang kesehatan dalam beberapa tahun terakhir. Namun, pandemi Covid-19 menyebabkan laju penurunan stunting melambat.
Untuk mengejar target prevalensi sebesar 14 persen pada tahun 2024, diperlukan reorientasi program yang lebih nyata dan terarah di lapangan, dengan penekanan pada intervensi spesifik pemenuhan nutrisi anak, dan diprioritaskan kepada kelompok miskin yang mengalami pukulan terberat di masa pandemi ini. Demikian dikutip dari Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan The Habibie Center (THC) dalam rangka Studi Kebijakan Pencegahan Stunting di Era Pandemi.
FGD dipandu oleh dr. Tono Rustiano, M.M. (Pemerhati Stunting dan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional), dan dihadiri oleh sejumlah pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan, yang meliputi wakil dari Sekretariat Wakil Presiden, Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, ahli gizi, akademisi, organisasi sosial dan keagamaan, serta wakil dari dunia industri.
dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K), Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional memaparkan mengenai tantangan yang dihadapi dalam upaya penurunan stunting dan strategi yang akan ditempuh untuk mencapai target RPJMN 2020-2024 yaitu prevalensi stunting sebesar 14 persen pada 2024, yang meliputi sejumlah intervensi spesifik (pemberian makanan pendamping ASI, makanan tambahan ibu hamil dan balita kurus, imunisasi, konseling dan pendidikan gizi, dan lain-lain) dan intervensi sensitif (penyediaan air bersih, sanitasi, perlindungan sosial, stimulasi dini, PAUD, bantuan pangan, dan lain-lain).
Saat ini Strategi Nasional (Stranas) Percepatan Pencegahan Stunting telah disusun dan dikoordinasikan secara komprehensif, di antaranya dituangkan dalam delapan Aksi Konvergensi Percepatan Penurunan Stunting. Pada sesi ini dinyatakan bahwa tantangan terbesar dalam mencegah dan menurunkan angka stunting tersebut ada pada implementasi dari strategi dan aksi konvergensi itu sendiri.
Dipaparkan oleh Dr. Ir. Suprayoga Hadi, MSP, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan dari Sekretariat Wakil Presiden terdapat sejumlah tantangan dalam pelaksanaan Stranas stunting. Diantaranya belum efektif dan efisiennya pengalokasian dan penggunaan sumber daya serta keterbatasan kapasitas penyelenggaraan program. Selain itu, terungkap juga bahwa istilah stunting sendiri belum terlalu dikenal di kalangan masyarakat, sedangkan upaya perubahan perilaku untuk mencegah stunting juga akan memerlukan waktu.
Pungkas Bahjuri Ali, S.TP, MS, Ph.D, Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memaparkan sejumlah dampak pandemi terhadap stunting. Antara lain terhambatnya pelayanan kesehatan (seperti penutupan posyandu sebagai fasilitas pemantauan stunting), dan penurunan daya beli masyarakat. Ditambah lagi adanya pengalihan anggaran yang semula dialokasikan untuk program penurunan stunting kepada program penanganan Covid-19, baik di tingkat Pusat, Kota/Kabupaten hingga tingkat desa. Hal ini menjadi tantangan tersendiri karena diprediksi akan terjadi perlambatan penurunan stunting selama masa pandemi.
Perihal pengalihan anggaran ini, Hasto mengakui, dari anggaran yang diusulkan BKKBN sebesar Rp 1,1 triliun, ternyata kemudian hanya disetujui sebesar sekitar Rp 110 miliar oleh Pemerintah. “Sementara untuk mengejar target prevalensi sebesar 14 persen pada tahun 2024, kita tinggal punya waktu tiga tahun. Karena keterbatasan ini, mau tidak mau kita harus melakukan reorientasi program. Contoh reorientasi program yang diusulan BKKBN antara lain konsep inkubasi dengan mempertahankan faktor spesifik. Misalnya dalam konseling pra nikah juga dilakukan pemeriksaan terhadap kadar Hb calon pengantin. Itu murah sekali dan bisa dikerjakan di Puskesmas dan Posyandu,” tambahnya.
Namun catatan lain, pandemi ini juga telah mendorong adanya sejumlah penyesuaian intervensi pada bidang kesehatan. Contohnya penyelenggaraan posyandu keliling yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan peningkatan penyaluran bantuan sosial oleh Kementerian Sosial.
Tantangan dalam implementasi kebijakan penurunan stunting juga disampaikan oleh para pelaku intervensi di lapangan, baik dari kalangan akademisi dan praktisi, lembaga swadaya masyarakat, maupun pengusaha. Beberapa contoh masalah utama yang ditemui di lapangan adalah kurangnya kolaborasi lintas sektor dalam pelaksanaan program penurunan stunting, cakupan intervensi spesifik yang belum sesuai target, dan masih rendahnya asupan gizi balita.