REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengedepankan keadilan restoratif (restorative justice) dalam menyelesaikan perkara ujaran kontroversi dr Lois Owien terkait penanganan pandemi Covid-19 di Tanah Air. Polri mengedepankan keadilan restoratif agar permasalahan opini seperti ini tidak menjadi perbuatan yang dapat terulang di masyarakat.
"Kami melihat bahwa pemenjaraan bukan upaya satu-satunya, melainkan upaya terakhir dalam penegakan hukum, atau diistilahkan ultimum remidium sehingga Polri dalam hal ini mengedepankan upaya preventif agar perbuatan seperti ini tidak diikuti oleh pihak lain," kata Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Pol Slamet Uliadi dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Selasa (13/7).
Slamet menjelaskan, dalam menjalani serangkaian pemeriksaan intensif di kepolisian, dr Lois mengakui kesalahannya atas sejumlah opini mengenai Covid-19. Kepada penyidik, dr Lois yang berstatus terduga, memberikan sejumlah klarifikasi atas pernyataannya selaku dokter atas fenomena pandemi Covid-19 tersebut.
"Segala opini terduga yang terkait Covid-19, diakuinya merupakan opini pribadi yang tidak berlandaskan riset," kata Slamet.
Slamet menyebutkan, ada asumsi yang dibangun sendiri oleh dr Lois, seperti kematian karena Covid-19 disebabkan interaksi obat yang digunakan dalam penanganan pasien. "Kemudian, opini terduga terkait tidak percaya Covid-19, sama sekali tidak memiliki landasan hukum. Pokok opini berikutnya, penggunaan alat tes PCR dan swab antigen sebagai alat pendeteksi Covid-19 yang terduga katakan sebagai hal yang tidak relevan, juga merupakan asumsi yang tidak berlandaskan riset," ujar Slamet.
Slamet yang juga ketua Satgas Presisi Polri ini, mengatakan terduga (dr Lois) mengakui opini yang dipublikasikan di media sosial membutuhkan penjelasan medis. Namun, hal itu justru bias karena di media sosial hanyalah debat kusir yang tidak ada ujungnya.
"Setelah dilakukan pemeriksaan oleh penyidik, kami dapatkan kesimpulan bahwa yang bersangkutan tidak akan mengulangi perbuatannya dan tidak akan menghilangkan barang bukti, mengingat seluruh barang bukti sudah kami miliki," kata Slamet.
Pernyataan terduga selaku orang yang memiliki gelar dan profesi dokter yang tidak memiliki pembenaran secara otoritas kedokteran. Dalam klarifikasi dr Lois, ia mengakui bahwa perbuatannya tidak dapat dibenarkan secara kode etik profesi kedokteran.
"Yang bersangkutan menyanggupi tidak akan melarikan diri. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk tidak menahan yang bersangkutan, hal ini juga sesuai dengan konsep Polri menuju Presisi yang berkeadilan," ujar Slamet.
Berkaitan dengan reproduksi konten oleh terduga, menurut Brigjen Slamet, merupakan tindakan komunikasi yang dimaksudkan untuk memengaruhi opini publik. Slamet juga berharap, upaya mengingatkan dokter ini agar bijak dalam menggunakan media sosial sebagai alat komunikasi sosial.
"Indonesia sedang berupaya menekan angka penyebaran pandemi, sekali lagi pemenjaraan dokter yang beropini diharapkan agar jangan menambah persoalan bangsa. Sehingga, Polri dan tenaga kesehatan kami minta fokus tangani Covid-19 dalam masa PPKM Darurat ini," kata Slamet.
Sebagai informasi tambahan, Polri memberikan catatan bahwa terduga dr Lois dapat diproses lebih lanjut secara otoritas profesi kedokteran dalam hal ini oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI).