REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Sejumlah anak buah kapal (ABK) yang merupakan warga Kampung Babakan, Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat, sedang menanti kejelasan nasibnya. Mereka merasa 'ditipu' perusahaan penyalur kerja.
Pada akhir Juni 2021, 19 ABK teken kontrak melalui sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja berinisial PT RSB. Tiba-tiba saja, mereka dipulangkan ke Indonesia tanpa alasan, setelah berlayar 22 bulan di laut Singapura.
Salah seorang ABK berinisial FM (24 tahun) termasuk yang turut dipulangkan dari kapal ikan tersebut. FM menjelaskan, selama bekerja, seharusnya ia menerima gaji 50 dolar AS atau sekitar Rp 723 ribu di atas kapal per bulan. Dia juga dijanjikan mendapatkan uang sebesar 250 dolar AS atau sekitar Rp 3,6 juta, yang langsung ditransfer ke rekening keluarganya.
"Tapi sejak tanda tangan kontrak dari Agustus 2019, uang yang masuk ke rekening keluarga cuma Rp 7 juta. Padahal gaji di atas kapal sebesar 50 dolar AS lancar saya dapatkan selama 22 bulan," kata FM kepada Republika di Kota Bogor, Senin (5/7).
FM mengatakan, seharusnya kontraknya sebagai ABK berakhir pada Agustus 2021. Namun, pada 24 Juni lalu, kapal ikan tempat FM bekerja memulangkannya bersama 18 ABK lain ke Indonesia tanpa memberi detail pemutusan kontrak.
Dia menjelaskan, gaji yang seharusnya diterima oleh keluarganya sebesar 250 dolar AS setiap bulan sejak awal bekerja, belum diterima sepenuhnya. Dia tidak tahu, apakah pemilik kapal atau PT RSB yang mengambil haknua.
Ketika FM mencoba mendatangi kantor penyalur kerja di kawasan Parung, Kabupaten Bogor, ia pun tidak mendapatkan kejelasan. "Nggak ada keterangan kapan turun. Saya udah coba datangi kantornya, tapi posisi kantornya tutup melulu. Padahal dirutnya ada di Bogor, tapi nggak berani temuin kami (para ABK)," jelasnya.
"Via telepon dia bilang takut diapa-apain, padahal kami cuma mau ketemu minta penjelasan kenapa kami dikembalikan dan gaji gimana jelasnya," ujar FM melanjutkan.
Menurut FM, selama 22 bulan di laut, ia dan 18 teman ABK yang lain tidak dapat berkomunikasi dengan keluarga di rumah. Pasalnya, ia tidak difasilitasi dengan kartu SIM yang bisa digunakan untuk menelepon dari Singapura.
Uang sebesar 50 dolar AS yang didapatkan di atas kapal pun, digunakan untuk kehidupan sehari-hari. “Sampai saat ini, kita belum ada yang lapor polisi. Takutnya, kalau lapor yang ada dia masuk penjara, uang kita nggak kembali. Padahal kita niatnya bantu orang tua ngasih uang,” ucapnya.
Salah seorang warga yang tinggal berdekatan denga FM, Fuad Say Benny yang sempat menjabat sebagai ketua RW di Kampung Babakan, Kelurahan Bubulak, ingin membantu apa yang dialami FM dan kawan-kawannya. Apalagi, orang tua FM sempat kehilangan kontak dengan anaknya selama 22 bulan.
"Saya coba hubungi teman-teman alumni IPB yang kerja di kapal. Saya coba datangi kantor penyalur tenaga kerjanya, tapi selalu tutup," ucap Benny.
Pada dua pekan lalu, lanjut Benny, orang tua FM mengabarkan jika putranya sudah kembali ke rumah. Namun, rupanya mereka dikembalikan tanpa alasan yang jelas oleh perusahaan penyalur kerja, dan belum mendapatkan haknya secara penuh selama menjadi ABK.
"Saya lihat mereka suka diam, bengong. Padahal masih pada muda, usia di bawah 30 tahun. Makanya kadang saya bantu biayai makan. Tapi nggak banyak-banyak hanya sekitar empat orang yang di daerah sini," ujar Benny.