REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Pendamping Sidang Kode Etik Dewan Pengawas KPK atas para penyidik bansos COVID-19, March Falentino, menyatakan dua orang penyidik KPK yang dilaporkan ke Dewas (terlapor) tidak pernah mengintimidasi dan melakukan kekerasan fisik terhadap pelapor yang merupakan saksi dalam perkara bansos. "Sebelum menjelaskan perkara dugaan pelanggaran etik ini, perlu kami sampaikan klarifikasi isu yang beredar bahwa penyidik KPK melakukan intimidasi terhadap saksi. Kami tegaskan bahwa tidak pernah terjadi intimidasi apalagi kekerasan fisik," kata March dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (11/6).
Seorang saksi dalam kasus dugaan penerimaan suap oleh mantan menteri sosial Juliari Batubara dalam pengadaan bansos sembako COVID-19 bernama Agustri Yogasmara alias Yogas melaporkan dua orang penyidik KPK, yaitu MNP dan MPN. Yogas dalam laporannya mengatakan kedua penyidik melakukan perbuatan tidak menyenangkan dalam proses penggeledahan dan pemeriksaan Yogas sebagai saksi dalam perkara bansos COVID-19.
"Dua orang penyidik yang dilaporkan dalam perkara dugaan pelanggaran etik ini adalah MNP dan MPN. Keduanya telah bekerja sejak 2007 dan selama 15 tahun, mereka telah memeriksa ratusan bahkan ribuan orang. Selama itu pula, tidak pernah melanggar kode etik, apalagi cacat Integritas," tambah March.
Penyidik KPK, menurut March, termasuk dua penyidik perkara bansos yang terlapor selalu menjalankan penggeledahan dan pemeriksaan sesuai kode etik dan peraturan perundangan yang berlaku. "Dalam setiap kegiatan penggeledahan, penyidik dan petugas KPK selalu melakukan dokumentasi audio visual. Hal itu bertujuan sebagai fungsi kontrol bagi petugas dan penyidik KPK dan untuk pihak yang digeledah," ungkap March.
Selain itu, di setiap ruang pemeriksaan KPK selalu direkam audio visual. Ruang pemeriksaan bisa diawasi langsung oleh Direktur Penyidikan, Deputi Penindakan, hingga lima Pimpinan KPK. "Dengan pengawasan melekat seperti ini, dapat dipastikan bahwa penyidik KPK selalu menjalankan pemeriksaan sesuai dengan prosedur yang berlaku, tidak mungkin terjadi penganiayaan," tambah March.
March juga mengatakan bahwa pelapor yaitu Yogas berdasarkan fakta persidangan pada 2 Juni 2021 diduga merupakan pemilik jatah 400 ribu paket untuk paket bansos termin ke-1 hingga termin ke-12 Paket itu diduga dimiliki bersama-sama dengan mantan wakil ketua Komisi VIII DPR dari fraksi PDIP Ihsan Yunus dan adik Ihsan Yunus bernama Muhamad Rakyan Ikram alias Iman Ikram. Yogas pun diduga menerima dua buah sepeda mewah dan uang dari vendor bansos.
"Dalam persidangan yang sama, ketua majelis hakim Muhammad Damis sampai perlu mengultimatum akan langsung menahan/memasukkan ke penjara Agustri Yogaswara yang hadir sebagai saksi. Ultimatum dilakukan karena keterangan Agustri yang berbelit-belit dan dinilai melindungi pihak tertentu," tambah March.
Menurut March, sikap yang sama ditunjukkan Yogas dalam proses pemeriksaan penyidikan. "Yang bersangkutan malah pergi ke luar negeri setelah menerima surat panggilan dari KPK. Selain itu, dalam proses pemeriksaan, yang bersangkutan tidak kooperatif dalam memberi keterangan," ungkap March.
Sehingga penyidik melakukan strategi dan teknik penyidikan dalam memeriksa Agustri Yogaswara. "Strategi dan teknik penyidikan yang dilakukan penyidik, tentu selalu sesuai dengan aturan yang berlaku. Seluruh penyidik KPK, termasuk terperiksa, dilarang bertindak sewenang-wenang dan selalu memastikan terpenuhinya hak-hak saksi," tambah March.
Sebagai pemenuhan hak, Tim Pendamping akan mengajukan saksi dan ahli sesuai dengan ketentuan yang berlaku. "Apabila semua keluhan atau perasaan atau ketidaksukaan pelapor ditindaklanjuti dengan sidang etik, maka sidang etik dapat menjadi preseden yang buruk karena berpotensi untuk dicontoh oleh tersangka atau pihak lain yang merasa terganggu oleh KPK," kata March.
Apalagi, proses etik tersebut cukup mempengaruhi proses penyidikan korupsi dana bansos karena penyidik harus membagi waktu, tenaga dan konsentrasi antara penyidikan dan proses etik. "Namun kami yakin, Dewan Pengawas akan memutus perkara ini seadil-adilnya sesuai dengan peraturan kode etik yang berlaku di KPK, dan sesuai fakta-fakta yang muncul di persidangan," kata March.