Rabu 09 Jun 2021 08:42 WIB

Ini Alasan Penghinaan Presiden Tetap Ada di RKUHP

Delik pasal penghinaan presiden diubah agar tidak menabrak putusan MK.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Ratna Puspita
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani, memahami adanya perdebatan di publik terkait pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP. Sebab, pasal tersebut sebelumnya diketahui telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Arsul mengatakan, alasan pasal itu dipertahankan karena dalam KUHP terdapat pasal pidana menghina presiden, kepala pemerintahan atau kepala negara lain yang sedang berkunjung ke Indonesia. 

Baca Juga

"Masak, menghina Presidennya sendiri dibiarkan begitu saja. Nah, itu salah satu argumentasinya," kata Arsul kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (8/6).

Arsul menjelaskan, sifat delik pasal penghinaan presiden diubah agar pasal tersebut tidak menabrak putusan MK. Sebelumnya, penegak hukum bisa menindak langsung jika ada dugaan tindakan penghinaan presiden. 

Setelah diubah menjadi delik aduan, harus ada yang bisa mengadu, yaitu presiden. "Dalam hal ini disepakati, presiden sibuk, bisa diwakilkan. Itu argumentasi tidak menabrak MK karena sifat deliknya sudah berubah," kata dia.

Diketahui, RUU KUHP tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2021. Alasannya agar pemerintah dan DPR bisa melakukan sosialisasi RUU KUHP tersebut ke masyarakat.

"Pemerintah mengadakan 12 kali seri webinar, diskusi publik di 12 kota. Kalau nggak salah nanti itu terakhir di Jakarta. Kami (Komisi III DPR) juga akan mengadakan, tentu ada yang fisik dibatasi dan secara daring. Ini menjadi kesempatan bagi berbagai elemen masyarakat, termasuk media untuk menyampaikan pendapatnya," ujarnya.

Sebelumnya, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej, juga telah merespons mengenai kemunculan pasal tersebut di RUU KUHP. Ia menjelaskan bahwa pasal tersebut berbeda dengan pasal penghinaan presiden yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

"Jadi, pasal penghinaan itu adalah pasal penghinaan terhadap kepala negara, yang pertama, itu berbeda dengan yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi," kata Edward di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (7/6). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement