REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan Menteri Pertahanan (Menhan) Letjen (Purn) Prabowo Subianto melakukan pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) tahun 2020-2024 sebesar 124,99 miliar dolar AS atau sekitar Rp 1.787,57 triliun menuai polemik di masyarakat.
Direktur Komunikasi Indopol Survey, Verdy Firmantoro mengatakan, pandangan publik yang mengkaitkan alokasi anggaran besar dengan agenda politik 2024, menjadi sangat wajar. "Apalagi terdapat sejumlah elite partai yang berada di pusaran kemitraan pertahanan sebagai komisaris perusahaan alutsista," katanya di Jakarta, Jumat (4/6).
Terlepas tidak berkaitan dengan proses pengadaan, kata Verdy, potensi conflict of interest dan penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan rawan terjadi. Pasalnya, posisi Prabowo Subianto selain sebagai Menhan, juga merangkap Ketua Umum Partai Gerindra.
"Sehingga potensi ada bias kepentingan antara visi kenegaraan dan kepartaian. Belum lagi nama Prabowo Subianto yang masih santer masuk bursa capres 2024 mengarahkan tafsir-tafsir politis di ruang publik semakin masif," kata Verdy.
Dia memahami, di satu sisi dalam konteks politik militer, pemenuhan kebutuhan negara untuk peremajaan dan modernisasi alutsista sangat penting dalam rangka menjaga kedaulatan NKRI. Namun, Verdy menyebut, dengan angka yang cukup fantastis ditambah skema pembiayaan menggunakan utang luar negeri membuat publik memberikan beragam tafsir serta komentar.
"Kami tidak mempersoalkan upaya Kementerian Pertahanan untuk mengimplementasikan visi strategis pemenuhan kebutuhan alat pertahanan dan keamanan. Justru ini perlu kita dukung bersama," kata Verdy.
Meski begitu, ia mengingatkan, jangan pernah main-main masalah anggaran. Verdy menyarankan agar Prabowo harus transparan dan akuntabel dalam membelanjakan anggaran untuk pembelian alutsista. "Apalagi di tengah pandemi seperti saat ini, upaya pemulihan ekonomi masih menjadi agenda utama yang perlu diprioritaskan."