Jumat 04 Jun 2021 16:17 WIB

Ketua MK Mengaku Dihujat di Kampung Halaman Soal Pilpres

Anwar Usman mencontohkan keputusannya dengan peristiwa Ali bin Abi Thalib.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman.
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman mengaku, sebagai orang yang paling dihujat oleh masyarakat di kampung halamannya Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pascaputusan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

"Orang yang paling dihujat waktu itu adalah saya," kata Anwar Usman saat memberikan kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) yang disiarkan secara virtual di Jakarta, Jumat (4/6).

Hujatan terhadapnya karena NTB, terutama Kota Bima, merupakan lumbung suara dari pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno. Anwar menyadari, hujatan dari pendukung Prabowo-Sandi kepadanya karena Tanah Bima, NTB, tempat kelahirannya. Sehingga hal itu berimbas pada personalnya.

Menurut dia, hal yang perlu dipahami, tidak mungkin seorang hakim bisa memutuskan sebuah perkara yang dapat memuaskan semua pihak. Pasalnya, dalam memutus sebuah perkara ada dua pihak yang berkepentingansaling bertolak belakang.

Selanjutnya, dalam memutus sebuah perkara, hakim menjadikan fakta yang terungkap di persidangan sebagai dasar dalam mengambil keputusan. "Apapun isu dan fakta yang terjadi di lapangan tetapi tidak bisa dihadirkan atau diungkap di persidangan maka yang akan lahir adalah sebuah keputusan yang berbeda," kata Anwar.

Pada kesempatan itu, Anwar memberikan sebuah contoh saat baju perang milik Ali bin Abi Thalib sebagai seorang khalifah sekaligus sahabat Nabi Muhammad SAW, yang kehilangan barang berharga tersebut. Suatu ketika Ali bin Abi Thalib mendapati baju perang miliknya berada di tangan seorang Yahudi.

Ketika meminta baju itu, orang Yahudi menolak dan mengatakan, baju tersebut merupakan kepunyaannya. Ali yang merasa tidak terima membawa perkara itu ke pengadilan. Namun, saat di meja hijau, gugatan sang khalifah ditolak oleh hakim. Padahal, Ali sudah menghadirkan dua orang saksi, yaitu anak dan pembantunya.

Pelajaran dari perkara tersebut, Anwar melanjutkan, ialah meskipun anak, pembantu, orang-orang sekitar, hingga sang hakim sendiri mengetahui bahwa baju perang itu merupakan milik Ali, dia gagal membuktikannya di persidangan. "Terus terang saya orang yang paling dihujat karena palu di tangan saya. Oleh sebab itu, perlu pencerahan kepada masyarakat," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement