Sabtu 22 May 2021 06:48 WIB

Pengamat : Politik Identitas Buat Indeks Demokrasi Turun

Politik identitas berujung pada tindakan intoleransi disertai ujaran kebencian

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andi Nur Aminah
Direktur Indonesia Publik Institut (IPI), Karyono Wibowo.
Foto: Antara
Direktur Indonesia Publik Institut (IPI), Karyono Wibowo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai maraknya politik identitas menjadi penyumbang turunnya Indeks Demokrasi Indonesia. Politik identitas berujung pada tindakan intoleransi disertai ujaran kebencian. "Politik identitas tersebut memuncak mewarnai momentum politik sejak Pilkada DKI Jakarta 2017, Pemilu 2019, hingga pasca pemilu," kata Karyono dalam keterangan resmi pada wartawan, Selasa (18/5).

The Economist Intelligence Unit (EIU) yang mengukur pelaksanaan kinerja demokrasi negara-negara di dunia pada 2020 menunjukkan skor Indeks Demokrasi Indonesia mengalami penurunan. Indeks Demokrasi Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dari 167 negara dengan skor 6.3. Meski dalam segi peringkat Indonesia masih tetap sama dengan tahun sebelumnya, namun skor tersebut menurun dari yang sebelumnya berada di angka 6.48. 

Baca Juga

Peringkat Indonesia di kawasan Asia Tenggara berada di peringkat empat, di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina. Penurunan Indeks Demokrasi Indonesia juga disebabkan adanya ancaman terhadap kebebasan sipil hingga tindakan kekerasan.

Karyono memandang tren menurunnya indeks demokrasi di Indonesia menjadi salah satu tantangan reformasi yang harus segera diselesaikan. "Penguatan sistem demokrasi yang menjadi salah satu tujuan reformasi masih menemui sejumlah kendala," ujar Karyono.

Sejumlah indikator masih menunjukkan skor yang masih buruk. Diantaranya masalah kebebasan sipil dan pluralisme.  Hal itu bisa dilihat dari angka Indek Demokrasi Indonesia (IDI) berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) 2018–2019 yang menunjukkan penurunan pada aspek Kebebasan Sipil sebesar 1,26 poin (dari 78,46 menjadi 77,20). Selain itu, aspek yang paling parah, yang skalanya masih di bawah 60 adalah masalah ancaman maupun penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berpendapat, dengan skala 57,35.

"Masih ada pro dan kontra. Perbedaan pandangan ini menunjukkan anomali. Di satu sisi pemerintah dinilai menabrak demokrasi di sisi lain justru menyelamatkan demokrasi dari ancaman kelompok tertentu," kata Karyono.   

Perbedaan pandangan terkait larangan dua ormas FPI dan HTI, tambah dia, tentu sulit dihindari karena perbedaan pendapat itu adalah bagian dari demokrasi itu sendiri.   "Tetapi, pelaksanaan demokrasi harus berjalan di atas rel konstitusi dan regulasi agar demokrasi tidak memakan anak kandungnya sendiri. Dengan kata lain, aturan diperlukan agar demokrasi berjalan dengan baik," ujar Karyono.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement