REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII), Allan Fatchan Gani, menilai, keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyerahkan perkara Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat dalam kasus dugaan tindak pidana jual beli jabatan ke Bareskrim Polri tidaklah tepat. Menurut PSHK FH UII, KPK lebih berwenang dalam menangani perkara tersebut.
"OTT Bupati Nganjuk sebaiknya ditangani oleh KPK. Ini bukan soal kecilnya nilai uang yang diungkap dalam kasus jual beli jabatan, tapi lebih kepada upaya pemberantasan korupsi yang komprehensif dan etika pejabat publik," kata dia, Selasa (11/5).
Allan mengatakan, tangkap tangan terhadap Bupati Nganjuk merupakan kelanjutan dari praktik demoralisasi pejabat yang belum ada tanda-tanda berhenti dan berakhir. Sehingga, bila kasus ini ditangani oleh Bareskrim, keraguan publik akan tuntasnya kasus jual beli jabatan semakin nyata.
"Karena publik ragu, apakah kasus jual beli jabatan akan benar-benar tuntas," kata Allan.
Pada Senin (10/5) KPK menyerahkan penyidikan perkara jual beli jabatan Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat kepada Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Polri. Diketahui, KPK dan Bareskrim melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di wilayah Nganjuk, Jawa Timur, pada Ahad (9/5).
Penanganan perkara ini bermula pada akhir Maret 2021, saat KPK menerima laporan adanya dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait pengisian jabatan perangkat desa dan camat di lingkungan Pemkab Nganjuk, Jawa Timur. Selanjutnya, saat unit Koordinasi dan Supervisi Penindakan KPK berkoordinasi dengan Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri diperoleh Informasi bahwa Bareskrim Mabes Polri juga menerima laporan pengaduan masyarakat yang sama terkait hal tersebut.