REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gerak Perempuan dan Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kekerasan Seksual (Kompaks) mengkritisi pertanyaan-pertanyaan tidak etis dan bernuansa seksis, mengandung bias agama, rasisme dan diskriminatif dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Gerak Perempuan dan Kompaks menilai pertanyaan-pertanyaan itu tidak relevan dengan tujuan diadakannya tes tersebut.
Gerak Perempuan dan Kompaks mencatat dari berbagai sumber berita terdapat beberapa pertanyaan yang seksis dan bermuatan pelecehan. Dalam tes wawancara, seorang pegawai KPK ditanyai mengenai statusnya yang belum menikah. "Dari informasi yang kami dapatkan, salah satu pegawai KPK harus menghabiskan waktu 30 menitnya untuk menjawab pertanyaan seperti ini." kata pernyataan Aliansi Gerak Perempuan dan Kompaks, Jumat (7/5).
Kemudian terdapat pertanyaan soal hasrat seksual, kesediaan menjadi istri kedua, dan pertanyaan yang mempertanyakan apa saja yang dilakukan saat pacaran. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak ada kaitannya dengan tugas, peran, dan tanggung jawab seorang pegawai KPK dan tidak layak ditanyakan dalam sesi wawancara.
Pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan yang bernuansa seksis karena didasari oleh anggapan yang menempatkan perempuan sebatas pada fungsi dan peran organ reproduksinya dan sangat menghakimi privasi dari pegawai KPK tersebut.
Menurut Gerak Perempuan, pertanyaan dan pernyataan yang seksis ini juga menunjukkan buruknya perspektif gender dari aparatur negara. Hal ini bertentangan juga dengan Pasal 28G (1) 1945 & amandemennya mengatur "setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi".
Dalam tes juga dipertanyakan tata cara seorang menjalankan ajaran agamanya. Agama merupakan hak setiap warga negara dan privasi seseorang yang seharusnya tidak menjadi pertanyaan dalam seleksi pekerjaan. Seharusnya seleksi pekerjaan bersifat profesional dan sebisa mungkin terbebas dari berbagai bias pribadi si pewawancara, salah satunya bias agama.
"Pertanyaan seperti "Islamnya Islam apa?" dan "Gimana kalau anaknya nikah beda agama?" tidak ada kaitannya dengan tujuan tes maupun pada kinerja dan tanggung jawab kerja." kata aliansi tersebut.
Selain itu, terdapat tes yang diisi dengan pernyataan rasis. Dalam sebuah tes, para pegawai KPK diminta untuk bersetuju atau tidak terhadap sebuah pernyataan. Muncul pernyataan seperti "Semua orang China sama saja" atau "Semua orang Jepang kejam". Sulit membayangkan penilaian yang dilakukan berdasarkan pertanyaan dari tes seperti ini. Apalagi pilihannya hanya dipaksa untuk menjawab sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju, atau sangat tidak setuju.
Padahal, koruptor bisa datang dari semua ras tanpa terkecuali karena orang bertindak korup bukan karena rasnya. Melihat dari jenis tes dan pertanyaan yang diberikan dalam tes alih status Pegawai KPK, aliansi mengkritisi dan mempertanyakan kepentingan dari pelaksanaan tata cara dan tujuan tes peralihan ini.
Beberapa hal yang menjadi catatan adalah pemilihan model tes, pertanyaan yang diberikan, serta tata cara penilaian yang menjadi kriteria peralihan para Pegawai KPK menjadi ASN.
Yang menjadi kekhawatiran utama adalah pertanyaan yang menunjukkan kriteria pemilihan ASN sangat tidak etis, seksis, dan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok tertentu.
Proses peralihan status tidak terlepas dari disahkannya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. UU ini mengubah status pegawai KPK menjadi ASN dan harus melewati tes peralihan.
Hal yang menjadi kontroversi adalah Aparatur Sipil Negara memiliki budaya kerja yang berbeda dengan status pegawai KPK. Pegawai KPK tidak memiliki kebebasan berserikat dan berkumpul ketika statusnya beralih menjadi ASN.
Wadah Pegawai KPK (WP KPK) sebagai kolektif pegawai KPK memiliki peran yang sangat besar dalam menjaga KPK dari gangguan pihak luar yang ingin menguasai dan menghancurkan KPK. Kekosongan orang-orang kritis di KPK tentunya akan menimbulkan kerugian besar bagi KPK untuk menjalankan fungsi secara maksimal dan optimal.
Tes peralihan ini dianggap menjadi salah satu proses menyaring orang-orang yang selama ini kritis terhadap kebijakan pemimpin, bahkan terhadap kebijakan negara yang tidak melindungi KPK untuk membasmi koruptor. Hal ini terlihat dari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi dan menggiring opini peserta.
Gerak Perempuan, sebagai aliansi yang menyuarakan penolakan terhadap kekerasan kepada perempuan, bersama Kompaks menilai bahwa proses tes peralihan tidak dilakukan secara profesional dan etis, terutama pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi, seksis, dan diskriminatif.
"Proses profesional dan terhormat ini tercoreng dengan adanya orang-orang yang melakukan kekerasan terhadap perempuan pegawai KPK yang menjadi peserta tes." kata aliansi tersebut.