REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tenggelamnya Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) Nanggala-402 disebut mungkin disebabkan oleh faktor alam. Faktor alam yang dimaksud, yakni internal solitary wave, arus bawah laut yang cukup kuat yang bisa menarik kapal secara vertikal.
"Tenggelamnya KRI Nanggala-402 dimungkinkan terjadi karena adanya faktor alam," ujar Asisten Perencanaan dan Anggaran Kepala Staf Angkatan Laut (Asrena KSAL), Laksda Muhammad Ali, dalam siaran pers, Rabu (28/4).
Ali menjelaskan, pada saat kapal selam menyelam, hal yang paling berpengaruh adalah faktor arus bawah laut yang berbeda. Menurut dia, arus bawah laut berbeda di satu tempat dengan tempat yang lain tergantung pada kondisi cuaca dan alam di wilayah tersebut.
Karena itu, awak kapal selam sebelum beroperasi melihat panduan untuk menyampaikan kondisi daerah tersebut seperti faktor oseanografi maupun hidrografi. Salah satu faktor alam yang memengaruhi itu, yakni internal solitary wave.
"Faktor alam ini juga ada yang dinamakan internal solitary wave, yang berdasarkan informasi dari beberapa pakar dan ahli oseanografi, itu ada arus bawah laut yang cukup kuat yang bisa menarik secara vertikal. Jadi jatuhnya kapal ke bawah lebih cepat dari umumnya dan ini yang harus diwaspadai," kata dia.
Ali mengaku kerap mengalami situasi tersebut saat dia masih menjadi awak KRI Nanggala-402. Dengan adanya internal solitary wave tersebut, kapal biasanya akan terasa lebih berat. Tapi, hal tersebut dapat diatasi, salah satunya dengan pendorongan atau mengembuskan tangki tahan tekan dengan emergency blow.
Baca juga : Harapan Prabowo terhadap Anak-Anak Awak KRI Nanggala-402
Meski begitu, dia juga menyatakan, TNI AL menyatakan pasti akan mengaudit kejadian tenggelamnya KRI Nanggala-402. Dalam prosesnya, TNI AL akan melibatkan para pakar kapal selam, bukan hanya sekadar pengamat. "Kalau masalah diaudit, pasti kita audit. Jadi kita akan investigasi semuanya," ujar Ali.
Ali mengungkapkan, dalam proses investigasi tersebut pihaknya tentu akan menghadirkan para pakar kapal selam. Dia mengatakan, yang dihadirkan nanti bukan hanya sekadar pengamat, melainkan betul-betul pakar yang memang paham betul akan kapal selam.
"Para pakar kapal selam dan para pakar ahli pembuat kapal selam. Bukan hanya pengamat sekadar pengamat," ungkap dia.
Ali pada kesempatan itu juga menyinggung soal komentar pengamat yang menyampaikan KRI Nanggala-402 pada saat tenggelam kelebihan muatan atau kelebihan personel. Menurut dia, pernyataan tersebut tidak berdasar dan pengamat tersebut belum pernah mengawaki kapal selam.
Dia menjelaskan, dalam berbagai operasi yang KRI Nanggala lakukan, kapal tersebut biasa membawa 50 orang personel. Bahkan, kata dia, kalau operasi yang dilakukan merupakan tugas penyusupan, ada tambahan satu regu pasukan khusus sekitar tujuh orang sehingga total personel di dalam kapal ada 57 orang.
"Sedangkan pada saat kejadian tragedi KRI Nanggala kemarin tenggelam hanya 53 orang. Selain itu pada saat kejadian hanya membawa tiga buah torpedo. Padahal kapal selam ini didesain untuk membawa delapan torpedo, satu torpedo beratnya itu sekitar hampir dua ton," kata dia.
Atas dasar itu, Ali menyatakan, pernyataan pengamat yang menyatakan KRI Nanggala-402 kelebihan muatan saat tragedi terjadi merupakan pernyataan tak berdasar. Menurut dia, tugas berlayar yang sudah diarungi kapal selam tersebut sudah bertahun-tahun dan tidak pernah ada masalah sebelumnya.
"Ini kita sudah berlayar bertahun-tahun dan tidak pernah ada masalah. Jadi kalau dinyatakan kelebihan muatan sangat tidak tepat dan sangat salah dan tidak berdasar," kata dia.